Cerita terhenti sesaat. Kiai Heptan membuat isyarat lagi di udara. Kali ini berupa gambar buah-buahan, yang segera ditangkap oleh pengawal di sana dengan kalimat perintah semacam ini “Aku lapar. Tapi aku tidak ingin beranjak dari tempat ini. Aku ingin makan buah-buahan. Aku akan melanjutkan ceritaku dan tidak ingin makan yang berat. Jadi aku mau mengganjal perutku dengan sesuatu yang ringan saja, yakni makan buah-buahan.”
Pengawal membawakan satu keranjang buah-buahan. Kiai Heptan menyantap buah-buahannya sambil tetap duduk membelakangi Pentana. Ia menggunakan isyarat tangannya lagi, lalu meminta pengawal untuk bertanya kepada Pentana apakah Pentana ingin makan buah juga. Pentana menggeleng. Dia berkata kalau dia sama sekali tidak lapar.
“Dari cerita tentang penelitian kelelawar ini, kau akan tahu, memang sudah tak sepantasnya Kiai Rubia menjadi pemimpin pesantren. Juga anaknya, Hexana. Bukan semata karena dia perempuan, tetapi Hexana juga punya sifat yang mirip dengan ayahnya. Terlalu dikuasai oleh rasa ingin tahu, tetapi cepat jatuh ke dalam lubang melankoli. Lubang melankoli apakah yang kumaksud? Mereka berdua punya kesamaan cepat tersentuh dengan seseorang yang mengundang rasa iba. Mereka berdua punya kecenderungan selalu ingin memperbaiki sesuatu yang tampak rusak, rumpang, menyatukan kepingan-kepingan yang berserakan. Mereka selalu berpikir mereka bisa mengubahnya. Akibatnya mereka cepat menarik orang-orang yang hanya memanfaatkan situasi itu. Orang-orang mendayagunakan rasa belas kasih mereka, lalu diam-diam mengambil keuntungan dari sana.”
“Kau mungkin pernah mendengar hubungan pertemanan antara Kiai Rubia dengan Pak Atom. Banyak orang yang tahu bagaimana sifat asli Pak Atom, seorang penjilat dan pengkhianat. Tetapi Kiai Rubia memilih mempercayakan orang itu sebab dalam pandangannya, ia mampu mengeluarkan orang itu dari kegelapan. Mengangkat orang itu dari kubangan lumpur, ke tempat yang tinggi, ke tempat yang mulia. Selalu ada keyakinan seperti itu dalam dirinya. Akibatnya ia seringkali tidak waspada. Jarang menyadari bahaya yang mengintai dirinya. Bahaya yang dilemparkan orang-orang di sekitarnya. Perasaan kasihan kepada orang lain terlalu meluap-luap dalam dirinya. Ia selalu ingin memperbaiki sesuatu yang rusak. Kursi rusak. Kunci rusak. Pintu rusak. Manusia rusak. Sama-sama ingin ia perbaiki dengan kedua tangannya sendiri. Apa kau sudah pernah dengar cerita tentang pernikahan Kiai Rubia dahulu bersama istri pertamanya? Tak ada yang tahu asal-usul perempuan itu. Ia seperti dipungut dari wilayah antah-berantah lalu dengan sekejap mendapat kemuliaan karena menikah dengan seorang Kiai. Aku yakin ia menikahi perempuan itu juga karena didorong oleh hasratnya untuk ‘memperbaiki sesuatu’, ‘menolong ia yang tak berdaya’, mencoba mengarahkan orang itu ke jalan ideal menurut ukuran pribadinya.’”
“Pada kasus Hexana juga sama saja. Ia selalu memasang pertahanan dengan mengubah semua hal buruk yang menimpanya ke dalam satu peta logis. Ia akan berusaha keras menghubungkan keburukan yang ia terima dari orang lain dengan alasan-alasan yang bisa diterima secara akal. Mengapa orang tersebut berbuat A, mungkin karena ia sudah mengalami pengalaman B masa lalu. Tindakan orang itu tak lepas dari residu masa lalu. Pokoknya ia akan berusaha meletakkannya ke dalam kerangka yang dapat diterima secara objektif. Karena itu ia menutup mata terhadap segala kerugian yang dideritanya, yang ditimpakan orang lain kepadanya. Semacam mekanisme pertahanan untuk tidak membawa kerugian itu ke permukaan. Padahal jauh di lubuk hatinya, ia menanggung luka yang sangat parah. Sampai akhirnya ia lenyap ke dalam sumur.”
Kiai Heptan menghentikan ceritanya. Ia menarik napas dalam-dalam. Meminta lagi kepada pengawal untuk membawakan kendi air. Lalu ia meneguk cepat-cepat airnya. Seakan pandang tandus di tenggorokannya belum juga hilang.
“Sekarang aku akan menceritakan padamu tentang suatu penelitian kelelawar yang pernah terjadi di pesantren ini. Dan bagaimana karena penelitian itu membawa Hexana lenyap untuk selama-lamanya. Kuncinya ada pada’rasa ingin tahu yang berlebihan’ dan ditambah lagi ‘rasa iba yang mendalam’. Keduanya sama-sama berbahaya. Keduanya sama-sama menghancurkan.”