Ilmuwan Alizarin menemukan virus yang berada dalam sampel darah si penderita sama dengan virus yang ditemukan pada tubuh kelelawar. Jadi pertanyaan yang kali pertama ia ajukan kepada dua asisten penelitinya adalah: apakah kalian pernah melihat sekumpulan kelelawar di sekitar daerah ini?
Quinizarin yang begitu bersemangat bergabung dalam penelitian ini seketika memberi jawaban dengan menggebu-gebu. Ia menjawab tak pernah sekalipun melihat kelelawar. Bagaimana mungkin virus yang ada tubuh kelelawar menulari si penderita? Apakah penderita itu pernah makan daging kelelawar? tanyanya.
“Penularan bisa melalui feses, urine, atau saliva. Atau bisa saja si penderita menyantap buah-buahan yang sudah terkontaminasi kelelawar pemakan buah yang membawa virus itu. Lalu penularan virus pun mewabah dari kontak satu penderita ke calon penderita lain, ” jelas ilmuwan Alizarin.
“Bagaimana denganmu Hexana? Kau pernah melihat kelelawar di sekitar sini?”
Hexana tertunduk melihat sepatunya yang terantuk-antuk bebatuan. Mereka bertiga berbicara sambil berjalan bersama melewati tebing dan hamparan bebatuan menuju laut di bawah sana. Ada semacam upaya keakraban yang coba dibangun oleh ilmuwan Alizarin sebelum penelitian itu dilaksanakan pada minggu depan.
Hexana tetap diam seolah tak ingin menanggapi pembicaraan itu. Entah apa yang sedang melayang dalam pikirannya. Ia berjalan dalam kebisuan. Quinizarin yang berjalan tak jauh di antaranya turut menunggu tanggapan Hexana. Ia sudah tak sabar ingin tahu jawaban apa yang akan diutarakan Hexana. Ini kali pertama ia merasa bisa begitu dekat dengan Hexana. Ia akan menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk mencoba bergaul akrab dengan Hexana. Ketika pengumuman seleksi diumumkan beberapa hari yang lalu, ia sampai melonjak-lonjak kegirangan. Ia tak menyangka, jalannya untuk mengenal Hexana lebih dekat bisa terwujud dengan mudah melalui tim penelitian ini. Selama menjadi “santri ndalem” di kediaman Kiai Rubia, meski berada dalam satu rumah, ia sangat jarang menemukan kesempatan berbicara bersama Hexana. Kini kesempatan itu tak terduga telah dibuka selebar-lebarnya.
“Ada sebuah sumur,” akhirnya Hexana berucap.
Serentak Quinizarin dan ilmuwan Alizarin menoleh ke Hexana.
“Ada sumur terbengkalai di lahan kosong belakang pesantren. Aku pernah melihat sekumpulan kelelawar di dalamnya.”
Mata Quinizarin membelalak. “Kau mengunjunginya? Bukankah... bukankah yang kudengar dari para Kiai, sumur itu terlarang?”
Ilmuwan Alizarin menghentikan langkahnya. Ia lalu menuntun dua gadis itu untuk duduk di salah satu bebatuan karang. Mereka melanjutkan percakapan di sana sambil menghadap ke arah laut.
“Aku bahkan pernah masuk ke sana menggunakan tangga dengan membawa senter dan melihat sendiri sekumpulan kelelawar itu,” lanjut Hexana lagi.
Kenyataan yang barusan didengar Quinizarin membuat telinganya seakan dimasuki benda asing yang membuat kesadarannya setengah limbung. Ia tak menyangka Hexana melakukan hal yang segila itu pada sumur terlarang.