Pentana mengemasi barang-barangnya. Ia sedang mengisi satu tas terakhir yang akan sebelum ia benar-benar meninggalkan pesantren ini. Santri-santri yang tinggal sekamar dengannya masih memandanginya dengan penuh permusuhan. Mata-mata itu. Mata-mata yang sangat menyakitkan untuk dipandang. Dia sudah lelah beradu pandang dengan mata-mata penuh permusuhan itu setiap hari. Esok dia tidak akan merasakannya lagi. Beberapa hari yang lalu dia sudah menerima surat pemberhentian. Dia diberhentikan dengan alasan tidak jelas. Salah satunya berbunyi “Telah membunuh kelelawar di kamar tidur para santri”. Itu satu kesalahan yang tak mungkin termaafkan dalam konteks peraturan pesantren ini. Jadi dia diberhentikan menjadi santri di sini. Lagi pula dia punya catatan terkait pelanggaran lain yang telah dia lakukan.
Semua itu bila dirangkai jadi satu sudah cukup menambah alasan pemberhentiannya. Tak hanya berasal dari peraturan pesantren itu sendiri, tapi juga datang dari dirinya. Dia sudah tak tahan menjadi santri di sini. Dia ingin pulang ke rumah neneknya. Mengerjakan kembali hal-hal yang dia suka sembari mencoba peruntungan lain di bidang pendidikan. Mungkin dia akan beruntung di tempat lain. Ilmu tak hanya bisa didapatkan di satu tempat. Barangkali pesantren yang semula dipercaya oleh neneknya ini bukan ditakdirkan menjadi tempat utama baginya untuk menimba ilmu. Terlalu banyak hal menyakitkan yang dia alami di sini. Terlalu banyak hal-hal yang belum memperoleh jawaban.
Di pintu gerbang, Quinizarin menunggunya untuk memberi ucapan selamat berpisah. Ia memeluk Pentana erat-erat. Ia meminta Pentana untuk menjaga dirinya baik-baik. Di antara alumnus santri perempuan yang kembali datang untuk mengabdi di pesantren itu, hanya Quinizarin yang tahu alasan sebenarnya mengapa Pentana sampai diberhentikan. Bukan sekadar alasan tentang “membunuh kelelawar” dan pelanggaran lain, tapi juga ada semacam aib yang ingin disembunyikan dari para petinggi pesantren ini.
Pada hari ketika Kiai Heptan menuturkan ceritanya dalam posisi duduk membelakangi Pentana di Aula Bukit Rembulan, sebelum ia tiba pada alasan mengapa ia bisa membenci Hexana dan Quinizarin, ia tiba-tiba mengeluarkan teriakan yang sangat keras. Tubuhnya mendadak membungkuk ke depan. Ia berteriak kesakitan sambil memegangi perutnya. Ia meronta-ronta. Tubuhnya menggelepar-lepar di lantai aula. Para pengawal terkejut menyaksikan serangan yang mendadak itu. Malam itu juga, Kiai Heptan dibawa ke Pusat Kota untuk dirawat di rumah sakit. Para pengawal tak lupa menyampaikan pesan pada Pentana untuk tidak memberitahu siapapun tentang peristiwa yang dia saksikan di Aula Bukit Rembulan ini.