Nina POV
Flashback.......
Satu setengah tahun yang lalu…..
Menjadi wanita berusia seperempat abad merupakan masa kritis dimana setiap saat akan selalu muncul pertanyaan ”Kapan nikah ?”, “Kamu udah ada calon pacar ?”, “Kamu mau nikah kapan Nina?” dan blaa…bblaaa…bbblaaa… seribu satu kata dikeluarkan oleh orang sekitar padaku berkaitan dengan standar usia menikah seorang wanita di negara tercinta kita ini.
Usia dua puluh lima tahun sudah dibilang cukup matang alias dewasa untuk membangun biduk rumah tangga. Padahal pakar psikikologi mengatakan bahwa bilangan hidup tidak menjamin kedewasaan seseorang. Stigma menikah karena patokan usia sudah menjadi tradisi yang mengakar di masyarakat, bahkan tak jarang menjadi arena perlombaan. Siapa menikah lebih dulu dianggap hebat dan keren. Untukku menemukan orang yang tepat lebih utama dibandingkan harus tampak hebat dan keren di mata orang lain. Aku tidak ingin menghabiskan seumur hidupku bersama orang yang hanya menyesakkan atau menyakitkan hati. Dalam tanda kutip aku tidak ingin mengalami nasib yang serupa dengan ibuku. Bekas jejak ketidaksetiaan juga sudah cukup membuatku menghindari kata jatuh cinta dalam waktu dekat ini, sampai batas waktu yang aku sendiripun tidak tahu kepastiannya. Ibarat kopi, rasa pahit getir sudah kurasakan, tinggal tunggu manisnya keluar. Hanya saja tergantung racikan menu seperti apa yang sang pencipta berikan untuk kopi hidupku. Apakah espresso, mochaccino, latte, cappuccino atau varian minuman lain. Entahlah, semua masih menjadi misteri yang aku sendiri pun belum tahu jawabannya.
“Kamu jangan telat nikah lho Nin, kasihan anakmu.”
“Menghindari jarak usia anakmu terpaut jauh denganmu, biar kamu ndak dikira neneknya.”
“Kalau kalian sudah nikah, ibu merasa sudah bisa menuntaskan tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua.”
Segala bujuk rayu ini sudah aku dengar hampir setiap hari. Seperti siaran berita di televisi yang selalu dinantikan ibu penayangannya setiap pagi. Perbedaannya dalam jam tayang, jika berita di televisi tayang sekitar satu jam, tetapi tayangan bujuk rayu tentang pernikahan oleh ibu bisa tayang lebih dari dua puluh empat jam tanpa henti.
Kebosanan mendengar petuah ibu bukan hanya menjadi persoalanku seorang diri, kakak perempuanku Risma (29 tahun) bahkan sudah menghafal di luar kepala semua ucapan ibu. Mbak Risma sampai di titik kebal hati dan telinganya untuk mendengar ceramah dari ibu.Tetapi Mbak Risma lebih mujur karena sudah tiga tahun ini memiliki status berpacaran dengan salah satu teman kantornya, yang biasa kupanggil Mas Leo (33 tahun).Meskipun mereka sudah cukup lama berpacaran, tetapi sampai saat ini Mbak Risma belum berniat untuk melangkah ke jenjang pernikahan perihal yang belum bisa kuceritakan secara jelasnya di awal bagian tulisan ini karena aku sudah hampir terlambat untuk berangkat interview kerja lagi di pagi hari ini.
Aku sebulan yang lalu baru saja resign dari pekerjaan lamaku. Aku dulu bekerja di bagian purchasing sebuah pusat perbelanjaan di daerah tempat tinggalku. Aku memutuskan keluar karena aku melihat peluang pekerjaan di tempat lain, selain itu jenjang karier diperusahaan itu memang kurang menjanjikan dalam jangka panjang. Selain itu ada beberapa faktor yang membuatku harus segera angkat kaki dari tempat kerja lamaku.
Sesungguhnya ibu memintaku untuk tidak berhenti bekerja dahulu sebelum menemukan pekerjaan baru, tetapi aku sudah tidak mampu bertahan di sana lebih lama lagi. Aku sudah sangat lelah dengan karakter, kebijakan dan temperamen pemimpin perusahaan serta dengan kelakuan rekan kerja yang tidak mampu bekerja sama di sana. Terlalu banyaknya ketidakadilan dalam kebijakan pemimpin yang seringkali “mengorbankan” banyak pihak untuk kepentingan sedikit orang. Egoisme dan nepotisme sangat kental dan terasa dalam hubungan pekerjaan di kantor lama membuatku sesak dan muak. Atmosfir kerja yang membebani juga menjadi pemicuku untuk memilih segera mundur dari lingkungan yang membuatku cemas dan berat menjalaninya. Aku khawatir jika terus menerus kulanjutkan akan menganggu kesehatan mentalku dan tidak membuatku merasa bahagia.
Hampir semua orang yang kutemui mengatakan aku sudah tidak waras karena mengndurkan diri dikala banyak sekali manusia di masa ini yang sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Pendapat untuk hidup sesuai jalur manusia pada umumnya, mencari kemapanan secara materi entah kenapa belum termeterai di jiwa mudaku kala itu.Dalam benakku aku ingin bekerja dengan bahagia dan membahagiakan orang di sekitarku.
“Semua berkas, peralatan sudah dibawa nak?” tanya ibu dari arah dapur ketika aku keluar dari pintu kamar menuju ruang makan. Aku mengangguk sambil mengunyah selembar roti berlapis selai coklat yang ada di atas meja, kulanjutkan dengan menegak segelas jus jeruk buatan ibu yang agak sedikit kemanisan pagi ini.
“Jangan lupa berdoa dulu sebelum masuk ruang interview…,” kata ibu sambil memotong-motong sayuran di dapur dengan wajah penuh harap bahwa anaknya dapat diterima kerja kali ini setelah puluhan kali mengikuti wawancara tapi belum juga membuahkan hasil yang sesuai keinginan.
“Doain Nina ya bu..,”pamitku sambil mencium pipi wanita yang sudah melahirkan dan membesarkanku di dunia ini. Ibu tersenyum dan mengusap rambutku pelan seraya mendoakan hal baik akan segera menghampiriku dalam waktu dekat ini.
Aku memanaskan sebentar motor matik warna putih bergaris biru milikku, hasil dari bekerja di kantor lamaku. Sepuluh menit kemudian aku melaju dengan motorku melewati deretan rumah dan gang dengan kecepatan lebih cepat dari biasanya.
Beepp…beeppp….
Beberapa notifikasi masuk ke hpku saat aku menunggu antrian untuk interview.
Grup Chat : Trio Kwek-Kwek
Mbak Risma
Semangat dan sukses interviewnya Nina !
Dek Niko
Good luck mbk Ninnn. Jgn grogiiiiii, jgn jutek tuh muka!
Mksh Mbak Risma , Dek Niko…
Doain ak ya,
Deg-degan bgt nih ak
Dek Niko
Lbh deg-degan mn sama prtnyn ibu soal nikah mbak??
Hehe peace sista..
Wahh...ngjak ribut nih ank
Aws ada yg kesinggung
Niko jgn dikasih uang jjn lgi Mbak Risma !
“Nina Amalia,” panggil wanita paruh baya dari dalam ruang interview.
“Iyaa saya.,” jawab Nina singkat.
“Silahkan masuk."
Obrolan di grup chat harus terhenti sementara karena datang waktu giliranku untuk menjalani tes interview dengan bagian HRD perusahaan yang aku harapkan dapat menjadi tempat aku mencari nafkah kembali.
***
Setelah satu jam bertanya jawab dengan pihak rekrutmen, hasil pengumuman interview akan diberitahukan setelah dua minggu atau maksimal sebulan dari sekarang. Apabila aku dinyatakan lolos dan diterima bekerja nanti aku akan dihubungi lewat email dan sms. Jaman yang semakin canggih ini membuatku tidak perlu repot-repot harus mengecek langsung ke kantornya. Sungguh hebatnya teknologi di era sekarang ini. Serba instan dan mudah.
Perasaanku menjadi harap-harap cemas untuk hasil interview hari ini. Sekarang yang bisa kulakukan adalah berdoa, berdoa dan berdoa. Supaya hasil interview yang akan diumumkan dua minggu lagi itu, namaku bisa terdaftar dalam kelompok yang dinyatakan lolos.
Beepp…beeppp….
Ayu
Nin..,ktmuan di kafe skrng yaa
Mumpung ak libur nihh…!!
Cepetan ak mw crita , gpl OK !
OK!
Pas bgt ak lg bth hbrn
Otw
Setelah menyelesaikan urusan interview aku melangkah keluar dari gedung berwarna krem tua milik pemerintah tersebut. Kemudian tanpa menunggu lama aku menuju kafe yang baru setahun ini dikembangkan oleh sahabatku sejak di bangku SMP bersama kekasihnya, Ayu (24 tahun) sahabat semasa kuliahku.
“Heeeiii…heeiii… Ay...” seruku ketika mencapai meja tempat gadis berkacamata dengan tatanan rambut pendek sebahu berwarna coklat gelap. Dia sedang menyeruput cairan yang memiliki perbandingan susu dengan kopi adalah tiga banding satu di dalam komposisinya. Latte merupakan minuman favorit Ayu dan hampir selalu dipesannya saat berada di Ayo Ngopi !. Seperti itulah karakter Ayu, sosok yang manis dan sangat lembut. Jiwa keibuan dan penyayang sangat melekat padanya. Meski kami seangkatan, tetapi banyak orang yang menduga Ayu lebih tua usianya dibandingkan denganku karena wajah dan pembawaannya yang jauh lebih dewasa.
Ayu tak menggubrisku saat menikmati larutan manis hangat dengan sedikit busa di atasnya. Ayu tersenyum menyambutku setelah menyelesaikan aktivitasnya menikmati secangkir kopi di siang hari yang cukup panas. Biasanya wajah Ayu akan bersemangat setelah meneguk minuman favoritnya, tetapi siang ini tampak berbeda, Ayu sedikit lesu dan pucat. Terlihat tidak sehat.
“Ay..badanmu kok anget sih....kamu demam?”
“Kemarin sih demamnya, hari ini udah mendingan.”
“Kemarin?? Kemarin waktu kamu bilang sibuk itu?”
“Aku ndak bilang karena ndak mau kamu khawatir, Nin. “
“Sungkan amat sama aku, kamu pasti ndak cerita karna tau aku hari ini ada interview kan? Jadinya kamu ndak mau ngerepotin aku?” tanyaku panjang lebar pada Ayu. Seringkali aku kesal dengan tingkah sahabatku yang satu ini karena sangat takut merepotkanku. Padahal aku orangnya lebih suka direpotin daripada tidak dianggap oleh sahabatku sendiri. Ayu mengangguk pelan menjawab pertanyaanku barusan.
Aku menghempaskan tubuhku ke kursi di hadapan Ayu sambil menghembuskan nafas dalam dengan wajah kecewa karena tidak bisa memberi bantuan saat Ayu sedang sakit.
“Dasaaar kamu , aku kan jadi sahabatmu bukan saat kamu seneng aja. Aku juga bisa diandalkan kok kalau kamu butuhin waktu lagi sakit.”lanjutku mengomel padanya.
“Aku cuma ndak mau persiapan tes wawancaramu terganggu,” jawabnya memelas, terlihat merasa bersalah. Amarahku menjadi luluh melihatnya.
“Makasih ya Ay.., tapi lain kali jangan menganggapku seperti orang asing. Aku ingin jadi sahabatmu bagaimanapun kondisinya.”
“Oh ya.. kenapa nongkrong disini ? harusnya kamu itu istirahat di kostan dulu, jangan keluyuran kayak begini.”omelku lagi saat menyadari Ayu dengan kondisi masih lemas malah berangkat ke kafe.
“You know me so well lah Nin.., aku kan disini lagi berobat juga dengan ketemu sama Yosi..” ucapnya sambil tersenyum tipis.
“Aaaa..apa Yosi terlalu sibuk bekerja sampe tidak bisa menjengukmu di kostan ?” tanyaku spontan, sedikit menaikkan suara karena jika memang kekhawatiranku benar. Aku akan mengalihkan sasaran amarahku kepada Yosi. Bisa-bisanya dia tidak memperhatikan kekasihnya yang sedang sakit.
“Yosi kemarin seharian ndak kerja karena nemenin aku, hari ini aku ngerasa lebih baik jadi sekalian nemenin dia kerja, aku sekalian cari hiburan.”
“Hhhmm…soo sweet nya kalian.., couple goals banget,” ledekku sedikit mencubit pipi Ayu yang tidak berlemak sama sekali.
Sepersekian detik cerita mereka membuatku sedikit iri. Mungkin rasanya begitu bahagia jika memiliki pasangan. Apalagi dikala sakit melanda, pasti sangat senang jika diperhatikan oleh orang spesial.
“Kamu sebaiknya juga segera mencari pendamping hidup Nin, atau kamu mau kujodohkan dengan kenalanku ?” kata Ayu mulai mencoba menyentuh perkara yang selalu kuhindari, aku hanya membalasnya dengan senyuman. Lewat tatapan mataku Ayu sudah mengerti aku tidak ingin membahas pokok pembicaraan kali ini lebih lanjut.