Nina POV
Sendirian tak selalu kesepian.
Bila berdua membuat luka memilih tak bersama adalah bahagia.
Tepat sudah dua tahun hubunganku dengan Bayu berakhir akibat kebohongan dan perselingkuhan yang telah dilakukan oleh lelaki yang sudah kupacari hampir satu setengah tahun itu. Hal yang paling menyakitkan buatku karena akulah yang dianggap menjadi orang ketiga dalam hubungan ini. Selama ini begitu hebatnya satu laki-laki itu membohongiku selama delapan belas bulan kebersamaan kami. Aku yang terlalu percaya atau lebih tepatnya aku yang terlalu bodoh karena mencintai orang yang salah. Rasa sakitnya bukan main. Seseorang yang kupikir sangat istimewa menjadikanku cadangan. Orang yang kupercaya, ternyata memungkiri arti kata kesetiaan. Sosok yang begitu manis, perhatian, dan kupikir dewasa nyatanya sangat egois dan kekanakan dengan menyelam dalam dua hati wanita yang berbeda.
Namun ada satu hal yang patut aku syukuri ketika mengetahui Bayu berselingkuh yaitu status hubungan kami yang masih berpacaran. Hanya saja ada efek buruk dari kondisi ini, aku semakin meragukan bahwa cinta sejati itu ada. Akar rasa takut tersakiti lagi dengan perasaan cinta mulai menjangkiti otak dan perasaanku. Bukan mencabut dan membuangnya. Aku pikir lebih baik memeliharanya dengan pelan-pelan membangun pagar tembok di sekelilingnya. Aku tidak tahu sampai kapan akar-akar ini akan menancap erat di otak dan hatiku. Akankah sesuatu hal mampu untuk mencabutnya ? Atau berjalannya waktu yang akan membuatnya akar itu memunculkan cabang-cabang yang semakin kuat hingga aku memilih untuk independen hingga akhir waktu.
Awal mula ketakutanku mengenai cinta berasal dari pribadi terdekat denganku, siapa lagi kalau bukan ayahku. Bayu kupikir lebih baik, ternyata sama saja.
Prrannkkkkk…….
Suara benda kaca terjatuh ke lapisan keras yang menimbulkan suara gaduh dari arah ruang makan. Ragaku enggan sekali untuk menuju sumber suara. Hampir setiap hari aku melihat pertengkaran di antara dua orang dewasa yang seharusnya menjadi panutan kami di rumah. Meski badanku amat berat, tetapi tetap kupaksakan untuk memastikan ibu tidak terluka akibat pelampiasan kemarahan ayah yang sudah bawaaan dari muda tidak bisa mengontrol emosi yang dimilikinya. Lucunya tunggu saja beberapa jam nanti, ibu akan berusaha mendekati dan berdamai dengan ayah kembali dengan alasan mempertahankan hubungan rumah tangga mereka. Begitulah yang terjadi pada kedua orang tuaku. Kehidupan rumah tangga yang mereka bangun sangat berpengaruh dan membekaskan luka pada kami, anak hasil pernikahan mereka.
“Kamu bisa ndak ngurus keluarga lebih baik ? Setiap hari kerjaannya marah-marah terus..,kelakuanmu itu membuat dua anak perawan kita jadi takut menikah, apa kamu paham itu?”
"Sejak awal aku tidak pernah setuju dengan pernikahan ini, aku melakukannya karena terpaksa.”
“Apa sampai sekarang pun kamu ndak pernah mencintaiku dan anak-anakku ?”
“Jelas…,” saut ayah dengan emosi.
“Karena itukah kamu bahkan tak mau bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami ?”
“Kamu memilih tidak bekerja dan seringkali tidak membantu apa – apa. Aku ndak pernah habis pikir apa yang selama ini ada di pikirkanmu ?”
“Aku pikir dulu saat menikah denganmu dengan mengorbankan perasaanku, aku akan mendapat kebahagiaan dengan harta dan warisan dari keluargamu. Ehh ternyata usaha kalian hancur, lalu aku harus berjuang untuk itu. Aku tidak mau,”
“Ternyata bagimu aku hanya ladang uang?”
“……………….”
Kisah kedua orang tuaku berawal pada tahun 1985, ketika tante dari ibu berteman baik dengan ayah dari ayahku atau yang biasa kusebut kakek. Si tante dari ibu berniat menjodohkan ayah dan ibuku, sehingga menemui kakek untuk merealisasikan ide tersebut. Mengetahui latar belakang keluarga ibu yang kala itu cukup terpandang membuat kakek langsung menyetujui untuk menjodohkan mereka. Pada waktu bersamaan, ayahku saat itu sedang menjalani hubungan pacaran dengan teman kuliahnya yang sangat dia cintai. Kala itu kakek marah besar karena ayah menolak perjodohan yang diajukan. Terjadilah perdebatan hebat di dalam keluarga ayah. Kemarahan itu membuat kakek mengalami serangan jantung seketika, sehingga kondisi kakek mendadak kritis. Di sisa nafasnya, kakek memohon pada ayah untuk menikah dengan ibu. Desakan dan permintaan dari keluarga besar ayah membuat ayah tidak bisa menolak lagi keinginan kakek. Ayah dengan sangat terpaksa memutuskan hubungan dengan kekasihnya dan akhirnya menikah dengan ibu. Seiring berjalannya waktu ibu belajar untuk mencintai ayah yang tidak pernah bisa melupakan cintanya pada mantan kekasihnya dulu.
Ketika aku berada di sekolah dasar, beberapa kali kami mendengar bahwa selepas kerja ayah mulai sering berjumpa mantan kekasihnya kembali setelah puluhan tahun berlalu.Sang mantan ayah tersebut memiliki status sudah menikah seperti ayahku. Kami tidak pernah mempercayai gosip tersebut sampai suatu pagi ibu mempergoki ayah dan wanita itu sedang bermalam di sebuah penginapan. Hal itu menghancurkan hati ibu, setiap hari kami melihat ibu menangis sendirian di kamarnya. Harapan ibu, ayah akan meminta maaf dan mencoba memperbaiki hubungan diantara mereka. Tetapi ibu tidak bisa merubah fakta bahwa cinta ayah selama ini bukan untuknya. Kejadian itu sampai terdengar ke keluarga besar mereka. Ibu berusaha tetap mempertahankan pernikahan mereka karena nenek memohon padanya, ibu diingatkan bahwa perceraian adalah dosa di hadapan Tuhan, ibuku yang berhati lembut dan penyabar itu sangat mengkhawatirkan pertumbuhan anak-anaknya jikalau tumbuh tanpa figur seorang ayah. Terselip selalu di dalam doanya bahwa ibu berharap ayah bisa berubah mencintainya dan anak hasil pernikahan mereka. Sejujurnya aku pernah berharap bahwa lebih baik kami hidup tanpa ayah. Perasaan tak di cintai oleh ayah itu membuat kami merasa hidup hanya dengan ibu.
Tak sampai disitu saja, lima tahun yang lalu ayah diberhentikan sebagai staff dari pabrik tempatnya bekerja karena terjdi gelombang PHK massal. Hal tersebut membuat mental ayah sangat terpukul dan depresi. Ayah merasa sudah sangat tua untuk mendaftar di tempat kerja lain. Sifat pemarah, pesimis dan kurang daya juang ini jugalah yang baru diketahui ibu ketika menikah dengan ayah. Cerita ibu, sifat asli ayah baru benar-benar terlihat ketika mereka memasuki biduk rumah tangga. Orang bilang saat pacaran adalah masa promosi, dimana orang akan cenderung menunjukkan atau membuat semua nampak baik dan mempesona di hadapan calon pasangan hidupnya. Tetapi setiap samaran yang dilakukan akan terungkap juga nyatanya saat memasuki hidup rumah tangga.
Aku sampai di ruang tamu dengan perasaan takut jikalau melihat orang tuaku masih menaikan volume suara mereka yang sering memekakan telingaku. Beruntungnya aku sudah tidak melihat sosok ayah di sana. Hanya ada ibu yang sedang memunguti gelas kaca yang kuyakini seratus persen hasil karya dari luapan emosi ayah.
“Kali ini ada apa lagi bu?” tanyaku sambil membantu membereskan potongan kaca yang berhamburan dilantai. Ibu masih tenggelam dalam pikirannya sendiri tanpa menggubris pertanyaanku. Wajahnya nampak sedih. Padahal sudah sejak lama ibu mengetahui bahwa ayah tidak mencintainya, tetapi tetap saja beliau selalu menangis ketika mendengar ayah mengungkapkan hal yang sama.
“Aku pulang…..,” seru Mbak Risma memasuki ruang tamu, memandangi kami yang baru saja selesai membersihkan serpihan kaca di lantai ruang tamu. Kemudian Mbak Risma memberi sinyal kuat penuh pertanyaan mengenai kondisi yang sedang terjadi. Tak perlu waktu lama Mbak Risma sudah tau jawabannya.
“Sudah ndak usah dirasain bu, yang dipikirin aja ndak mikirin ibu kok, “ cetus Mbak Risma mendudukkan diri di kursi ruang tamu.
“Gimana ndak dipikirin, kalian ini anak gadis ibu tapi sampai sekarang ndak ada tanda-tanda mau menikah. Kalian tau ayah kalian menyalahkan ibu karena dia merasa ibu gagal mendidik kalian. Apalagi kamu Nin, kamu malah keluar kerja dan sekarang ndak punya pacar.”
“Kenapa jadi salah kami? Apa ibu malu pada kami ?”
Ibu tidak menjawab langsung. Tersirat rasa bersalah dan tidak ingin memulai perdebatan berikutnya dengan kedua anak perempuannya. Ibu masih terbawa emosi, sisa pertengkaran dengan ayah satu jam yang lalu.
“Aku mandi dan istirahat dulu ya, capek banget hari ini. Kerjaanku banyak sekali,”pungkas Mbak Risma hendak menuju kamar tidurnya.
“Ris tunggu sebentar,” cegah Ibu sambil menghentikan langkah Mbak Risma dan menahan tubuh anak sulungnya itu dengan wajah penuh cemas dan harap.
“Kenapa bu?” tanya Mbak Risma pelan. Kami sepertinya sudah dapat menebak akan kea rah mana pembicaraan ibu.
“Ndak bisakah kamu membantu ibumu ini, bantu ibu menuntaskan salah satu dari tanggung jawab ibu kepada kalian ?”
“Tenang saja bu, nanti waktunya nikah juga nikah kok aku..,”
“Bagaimana bisa tenang, sudah dua tahun ini kamu selalu saja menolak untuk menikah dengan Leo. Kamu itu jangan mempermainkan perasaan dan keseriusan Leo lho Ris. Jangan sampai Leo pergi meninggalkanmu dan menikah dengan orang lain. Ibu cuma bisa wanti-wanti jangan sampai kamu menyesal nantinya. ”
“Jika hal itu terjadi, berarti dia memang bukan jodohku. Sabar ya bu, aku usahain sesegera mungkin.”
“Ibu pegang ucapanmu ya Ris, segera ya. Ibu beri waktu sampai akhir bulan ini keputusannya,”
“Tiga bulan lagi ya bu, aku masih banyak pikiran soal kerjaan,”
“Maksimal tiga bulan ya Ris, awas sampai kamu lupa. Ibu tidak sabar memberi kabar pada semua orang bahwa anak ibu ada yang akan segera menikah.“
Aku duduk tenang mendengarkan obrolan diantara mereka. Seringkali aku merasa heran pada ibu. Meski beliau selalu bertengkar dengan ayah, tetapi tanpa sadar ibu selalu berusaha menuruti semua perkataan yang terlontar dari mulut ayah. Apakah cinta ibu pada ayah membuat semua kesalahan ayah menjadi tak terlihat lagi. Aku selalu bertanya, cinta macam apa yang membuat ibu bisa dengan mudah memaafkan kesalahan ayah meski berulang kali tersakiti. Sempat terpikir olehku bahwa ibu terpelet ayah. Tetapi biasanya hal seperti itu terjadi karena seseorang sangat mencintai dan tergila-gila dengan lawan jenisnya. Kasusnya berbeda dengan ibu yang meski sudah tahu tidak dicintai tetapi tetap bertahan dan mencintai ayah.
***
“Aaaaaaa…..aaaaaa… gagal lagi….,” seruku melihat hasil pengumuman interview pada halaman email yang baru saja aku terima. Aku membaca pesan masuk email itu dengan seksama dan dalam tempo yang selambat-lambatnya, memastikan bahwa apa yang aku baca tidak keliru. Sayangnya tulisan belum lolos tidak sekejap berubah menjadi kata yang kuharapkan.
Aku mematikan laptopku dan mengambil kunci motor. Aku harus mencari tempat untuk menghilangkan kecewa dan mengalihkan pikiranku dari hasil wawancara kerjaku. Aku memacu motorku ke Ayo Ngopi ! tanpa perlu dihalangi oleh pertanyaan dari seluruh anggota keluargaku karena mereka semua sedang tidak ada di rumah.
Aku akan memberitahu mereka saat nanti pulang ke rumah. Aku merasa sedih karena belum bisa memberikan hasil yang membahagiakan bagi semua orang. Ada rasa penyesalan khususnya terhadap ibu, yang selalu berharap aku segera mendapatkan pekerjaan yang tetap.
Tttinggg…ttoonggg…
Aku berjalan gontai dengan tak bersemangat ke arah kafe kopi yang masih belum siap untuk menerima pelanggan.
“Gagal lagi?” tanya Yosi saat melihatku masuk pintu kafe. Yosi layaknya seorang peramal, dia segera mengetahui jawaban pertanyaannya sendiri hanya dari raut wajahku. Sebagai sahabat yang baik dia menunjukan ekspresi sedih tanpa menghapuskan senyumaan di wajahnya sebagai wujud dukungannya terhadap perasaanku saat ini. Yosi terlihat sedang sibuk membersihkan dan merapikan tumpukan gelas dan piring untuk persiapan membuka kafe empat puluh lima menit lagi.
Meski kafe belum siap berjualan dan belum berganti papan closed menjadi open, aku tetap disambut dengan baik saat datang kesini. Inilah salah satu keuntungan menjadi sahabat para pemilik Kafe Ayo Ngopi !
Aku meletakkan tubuhku di atas kursi, tepat di depan meja bar dimana Yosi masih fokus dengan kegiatan paginya.
“Aaaaaa… jaman sekarang susah sekali cari kerjaan. Aku pengen kerja ya Tuhan, apapun itu aku mau yang penting aku ndak terus-terusan di rumah,” gerutuku dengan posisi menundukkan kepala di atas meja bar.
“Kira-kira menurutmu aku gagal karena apa?”lanjutku dengan suara lirih
“Karena belum jatahmu mungkin, “ jawab Yosi sekenanya
“Gitu ya ? “
“Aku kurang doa berarti,”
“Tambahi juga usahamu, mungkin kamu akan segera di rekrut di tempat lain. Kamu harus tetap semangat ! Selama kamu masih hidup, selalu terbuka kesempatan. ”
“Benar juga, tak ada gunanya mengeluh terus..,” kataku mulai mengumpulkan sisa asa yang ada. Setelah hampir lima belas menitan aku datang, belum kulihat satupun karyawan kafe milik Yosi yang menampakkan batang hidungnya.
“Kamu sendirian Yos ? Yang lain mana ?”
“Septa ijin datang telat katanya ban motornya bocor, Melani datang mepet karena nganter ibunya ke dokter dulu, terus Bintang ada kuliah pengganti jadi bakal datang telat juga.”
“Oh., sini biar kubantu biar cepet selesai. Kamu ngerjain hal yang lain saja,” ucapku langsung mengambil kain lap dan menggantikan Yosi menyeka sisa cangkir, gelas dan piring pada keranjang yang ada.
Selesai membantunya aku berdiri di samping Yosi yang baru saja menghitung saldo pada meja kasir.
“Udah selesai Yos, ada yang perlu kubantu lagi ?” tanyaku sambil menunjukkan hasil kerjaku padanya, aku sering memperhatikan Septa dan barista lainnya dalam merapikan wadah minuman dan makanan pada meja barista dan lemari penyimpanan.
“Baiklah, melihat hasil kerjamu barusan kami memutuskan mulai sekarang kamu diterima bekerja di kafe kami sebagai wakilku dan Ayu di sini”
“Hahh maksudnya ?”
“Aku udah mulai sibuk buka usaha kafe di luar kota dan Ayu cuma bisa mengontrol kafe ini hanya saat akhir pekan. Jadi sudah waktunya kami mencari penanggung jawab untuk kafe ini,”
“Jadi, kamu minta aku jadi…?”
“Iya..,gimana kamu mau ndak?”
“Seriusan ?”
“Ingat baik-baik jam kerjamu mulai dari jam 08.00 — 17.00 WIB shift pagi, jam 14.00 – 22.00 WIB untuk shift malam. Istirahat satu jam saat pergantian shift jam 14.00 WIB. Masalah gaji kita bicarain nanti di belakang. Maaf sebelumnya kalau tak sesuai dengan jurusan atau gelar sarjanamu,” ujar Yosi menerangkan padaku selayaknya kepada karyawan baru, lalu mengulurkan tangannya, meminta berjabat tangan denganku. Aku masih melongo dan heran mendengar perkataannya barusan. Aku mengabaikan untuk menyambut tangannya.
“Kamu ndak mau terlalu lama di rumah kan? Segera sambut tanganku, pegel tau,”cetus Yosi, kali ini tanpa berpikir panjang lagi aku langsung menjabat tangannya.
“Serius ini Yos? ucapan yang keluar dilarang ditarik kembali,” ucapku memastikan pernyataan Yosi barusan. Yosi mengangguk tanda keyakinannya.
“Makasih Yos…makasih….., tapi penilaian macam apa itu tadi, hahahaa semua orang pasti lolos kalau tes nya seperti itu.”
“Tes ku padamu udah hampir sepuluh tahun tau, aku lebih yakin dan merasa nyaman kalau orang yang bisa kupercaya yang kuberikan tanggung jawab ini.”
“Tapi aku masih perlu belajar mengelola usaha seperti ini.”
“Nanti lisa dan aku akan mengajarimu, tenang saja.”
“Terima kasih sudah membantuku,” seruku lalu reflek memeluk sahabat terbaikku ini.
“Sama-sama Nin,” balas Yosi sambil menepuk punggungku pelan.
“Kenapa tidak dari kemaren-kemaren kamu menawariku bekerja disini?” tanyaku ketika melepaskan pelukanku.
“Aku lihat selama ini kamu sangat ingin bekerja di kantoran yang memakai seragam, jadi kuurungkan niatku menawarimu,”
“Aku ndak akan nolak kalau ditawari juga Yos, aku ndak pernah tanya karena aku tahu kafemu sudah punya pegawai yang cukup. Ndak nyangka kamu sekarang mulai jadi pebisnis sukses, keren udah mau buka cabang lagi,” kata terima kasih tak habis-habisnya keluar dari mulutku. Reflek aku memeluk sahabatku lagi saking bahagianya karena akhirnya aku hari ini diterima bekerja. Munggkin belum jatahku di perusahaan milik negara, tetapi untuk saat ini jatahku adalah di perusahaan milik sahabat baikku.
Ttingg...ttoongg.....
Pintu kafe terbuka dan sosok Arel masih mengenakan setelan training warna gelap muncul dari balik pintu sepagi ini. Arel tertegun dan berdiam diri melihatku memeluk Yosi. Pandangan mataku bertemu dengan bola mata Arel. Seketika aku melepaskan pelukanku dan merasa salah tingkah harus bereaksi apa dihadapan Arel.
“Hhhmmm sorry aku datang sebelum kafenya buka, aku nggak bermaksud menganggu kalian,”kata Arel canggung sembari akan berbalik kearah pintu keluar.
“Ndak apa apa Rel, kamu ndak ganggu kok,” kata Yosi menahan Arel yang hendak beranjak pergi.
“Ada apa kesini pagi-pagi begini, Rel ?”tanyaku ikut canggung dan heran hal apa yang membuatnya datang sepagi ini.
”Aku barusan jogging sekitaran Pleburan, dan aku melihat ayahmu sepertinya sedang dalam masalah di Polsek,” katanya padaku sambil menunjukkan sebuah foto seorang laki-laki paruh baya yang sangat kukenali wajahnya. Wajahnya di foto terlihat agak lebam dan luka-luka. Pikirku apalagi yang dilakukan ayah kali ini.
“Polsek ?” tanyaku teramat kaget mendengar kabar dari mulut Arel. Seketika aku berusaha mengontrol emosiku saat mendengar info yang berkaitan dengan ayah. Sudah habis air mataku untuk meratapi kelakuan ayah selama ini. Ketika air mata kering, yang tertinggal hanyalah kesesakan dan kemarahan padaku.
“Iya, kalau kamu mau menemuinya, aku sekarang bisa mengantarmu kesana,” ucap Arel menawarkan bantuan pada Nina.
“Kamu ndak kerja?”
“Aku bisa ijin sebentar.”
“Baiklah, makasih sebelumnya Rel..,” kataku dengan perasaan sedikit tidak enak karena merepotkan Arel. Sejujurnya aku juga tidak berani menghadapi ayah dan polisi sendirian, jadi aku merasa sangat beruntung Arel mau menawarkan dirinya menemaniku.
Aku dan Arel mulai menjalin pertemanan sejak perkenalanku dengannya dua bulan yang lalu. Akibat letak kost dan kantor Arel yang berdekatan dengan rumah dan kafe biasa aku mampir, mungkin hampir setiap hari aku bisa bertemu dengannya. Baik sengaja maupun tidak sengaja. Pernah beberapa kali Arel mengantarkan teman kerjanya kerumah untuk potong rambut. Seringkali Arel mengajak teman kerjanya untuk mampir ke Ayo Ngopi !. Sehingga intensitas pertemuan kami semakin sering terjadi. Setelah kupikir-pikir Arel cocok juga staff marketing salon ibu dan Ayo Ngopi !
***