Bunyi debum keras yang mengagetkan itu membuat gadis yang sedang sibuk dengan buku-buku tugasnya itu refleks mendongak, beranjak dari duduknya di ruang tamu, lalu bergegas menuju arah sumber suara.
"Kamu kenapa Dipta? Ya ampun!" serunya pada pemuda berkacamata yang kini terduduk di lantai dengan raut kesakitan di antara buku-buku yang berserakan.
"Niatnya mau ambil bukunya Papa buat referensi untuk kamu. Malah kejatuhan kardus buku," gerutunya sambil bangkit dan menepuk-nepuk kaosnya yang kini dipenuhi debu.
"Effort banget, sih. Padahal aku bisa nyari di internet aja," balas si gadis yang kini ikut mengambil buku yang berserakan itu, menumpuknya kembali ke dalam kardus.
"Ya, kadang internet kan informasinya suka ngawur. Aku inget, Papa punya buku bisnis yang bagus, aku pernah baca dan itu bisa bantu kamu ngerjain tugas."
Gadis di hadapannya itu mengerucutkan bibirnya gemas. "Makasih ya, udah perhatian."
Laras sedang berada di rumah Pradipta, mengerjakan tugas kuliahnya. Namun, setengah jam yang lalu, Pradipta menghilang dari ruang depan. Laras mengira temannya itu sedang berada di kamarnya atau ke kamar mandi. Ternyata sahabatnya itu berada di gudang belakang.
Ya, mereka adalah dua orang dengan status sahabat, yang menurut teman-teman yang lain lebih cocok dilabeli dengan status pasangan alias pacar.
Padahal, kepribadian keduanya berkebalikan. Satu introvert, satu lagi ekstrovert. Orang lain menganggap itu aneh, apalagi setelah pertemanan mereka naik status menjadi persahabatan sejak SMP yang bertahan sampai sekarang.
Kalau dihitung-hitung, berarti sudah 10 tahun bersama, ya?
"Eh, ini kan buku memori pas kira SMP. Kok ada di sini?" tanya Laras saat menemukan buku akhir tahun sekolah di antara buku yang berserakan di lantai.
"Aku simpen di sini sama buku-buku lainnya. Kamar udah penuh buku baru," jawab Pradipta kemudian mendekat pada Laras yang sudah membuka buku berdebu itu.
"Eh, ini si Anisa. Sekarang dia pindah ke Bandung. Ini juga, ada Agung, ketua kelas paling playboy. Aku inget dia pernah nembak aku pas kita kelas 2." Laras tersenyum lebar mengamati potret teman-teman lama mereka.
"Kamu masih aja kayak dulu. Tambah tinggi doang," celetuk Pradipta dengan jarinya menunjuk potret Laras yang dulu memiliki rambut pendek sebahu.
"Enak aja! Aku masih kucel kayak dulu, gitu maksudmu?"
"Putihan dikit."
Pukulan kecil mendarat di lengan Pradipta, membuatnya tertawa melihat wajah kesal Laras. "Kamu juga! Sama aja nih, kayak dulu! Masih pake kacamata, dingin kayak kulkas, tambah tinggi doang!"
"Ya, aku kan minus matanya. Gimana nggak pake kacamata? Aku nggak bisa pakai lensa kontak."
"Iya sih, padahal cakepan nggak pakai kacamata."
"Thanks, pujiannya."
"Nggak jadi. Kamu jelek."
Tawa ringan terdengar dari bibir Pradipta atas cibiran Laras, lalu tangan kanannya naik dan mengusak rambut Laras, membuat gadis itu mencebik kesal karena rambutnya berantakan.
"Udah, ah. Balik ke depan, yuk! Ntar tugasku nggak kelar-kelar." Laras mengembalikan buku kenangan itu kembali ke dalan kardus, merapikannya, lalu menutup kardusnya.
"Referensinya gimana? Nggak mau aku cariin dulu?" tawar Pradipta.