Langkah sembunyi-sembunyi itu terlihat aneh bagi beberapa orang yang melihat Laras di kampus hari ini. Sejak datang tadi pagi, Laras sudah bersikap seperti itu. Berjalan cepat, sesekali menepi di balik tembok atau pintu terbuka yang dilewatinya. Bahkan sampai siang, dia masih bersikap seperti itu menuju kelasnya.
"Lo ngapain, sih? Lagi main jadi mata-mata?" tanya Wanda, salah satu teman dekat Laras.
"Hus! Diem! Jangan ngajakin ngomong, ntar aja pas udah di kelas," balasnya setengah berbisik.
"Kalo udah di kelas mah, kita belajar. Ngapain ngomong sama lo?"
"Wanda, ih! Jangan keras-keras ngomongnya!" Laras langsung menutup mulut temannya itu lalu menengok panik ke sekelilingnya.
"Kenapa, sih?" balas Wanda kali ini dengan berbisik.
"Nggak ada apa-apa, sih. Aku ngindarin Dipta hari ini."
"Lo ngindarin Dipta? Dalam rangka apa? Gila! Keajaiban dunia ini, sih!"
"Wanda diem! Ada sesuatu deh, aku nggak mau ketemu Dipta hari ini. Jadi, nanti kalo dia nyariin aku ke kamu, bilang aja nggak tahu. Ya?"
"Bohong dong gue, nggak ah, dosa!"
"Wanda, please, aku minta tolong banget, ya? Nanti kita jalan ke Starcoffee deh, ya?" bujuknya memelas.
"Duh, kalo lo maksa gini, jadi gue yang enak, nih!"
Laras mencibir mendengar jawaban Wanda. "Deal, ya? Awas aja kamu bilang ke Dipta!"
"Iya, nggak bakalan gue bilang. Buruan masuk, keburu Bu Annisa dateng," ajak Wanda, membawa Laras untuk segera duduk di kursinya. Ya, kelas mereka sebentar lagi dimulai.
Sementara itu, di kelas lain, Dipta merasa ada yang kurang hari ini. Itu karena sejak tadi ia tak melihat keberadaan Laras. Bahkan gadis itu tidak menjawab panggilannya, juga tidak membalas pesannya. Ke mana dia? Jadwal mereka tidak sama, karena memang beda jurusan. Tetapi, biasanya Laras akan muncul di gedung fakultasnya, kapanpun mereka memiliki kesempatan untuk bertemu.
"Tumben, anteng sendirian dari tadi," ucap Kenan, salah satu teman Pradipta yang cukup akrab. "Laras mana?"
"Nggak tahu, aku juga nggak liat dari tadi."
"Tumben, baru kali ini gue liat dia nggak nyamperin lo ke sini. Biasanya, minimal kalian saling anter ke kelas," Kenan lagi-lagi mengingat-ingat kebiasaan yang selalu dilakukan Dipta dan Laras. "Berantem lo sama dia?"
"Nggak."
"Atau lo ngelakuin sesuatu yang salah sama dia?"
Pradipta menoleh menatap Kenan sambil berpikir. Dia merasa tak ada yang salah di antara mereka. Kemarin mereka menghabiskan waktu bersama tanpa terjadi pertengkaran atau pembicaraan serius. Lalu, apa yang membuat Laras tiba-tiba menghilang?
"Nanti gue bantuin nyari belahan jiwa lo yang hilang itu, sekarang fokus. Tuh, Pak Badar udah masuk," bisik Kenan menyenggol lengan Pradipta, membuatnya tersadar dari pikirannya yang kebingungan.
***
Menepati janjinya, selesai kelas terakhir sore itu, Kenan menemani Pradipta ke gedung FEB untuk mencari Laras. Mungkin terlihat berlebihan, namun itulah Pradipta dan Laras.
"Dia masih ada kelas apa udah kelar semua?"
"Masih ada satu kelas lagi sampe sore," jawab Pradipta. "Full sih, jadwal kelasnya hari ini."
"Hapal bener, emang beda ya kalau belahan jiwa. Bisa hapal sampe tiap harinya."
"Ya, nggak juga. Kebiasaan aja, Ken. Jadinya hapal."