Laras tidak berharap banyak, sederhana saja. Ia hanya ingin harinya berjalan normal seperti biasanya. Tetapi untuk hari ini, sepertinya harapan itu terlalu muluk. Dimulai dari Dipta yang tidak jadi menjemputnya, lalu tertawan pembicaraan yang menyita waktunya dengan Rehan–teman Dipta–, kebelet pipis saat dia terburu-buru, dan sekarang harus jatuh dengan tidak elegan plus memalukan di lorong yang tidak sepi itu.
"Ah, maaf!"
Laras mendongak, melihat seorang pemuda dengan tubuh tinggi, dengan rambut hitam yang agak panjang tertiup angin, berdiri dengan posisi canggung karena makanan kucing yang dibawanya tumpah berserakan di lantai.
"Kalau jalan liat-liat, dong, Mas!" tegur Laras sambil bangun dari posisinya yang jatuh terduduk di lantai. Menepuk-nepuk bagian belakang celananya, berusaha terlihat biasa saja meski dia malu sekali menjadi tontonan gratis beberapa orang yang ada di sana.
"Kamu juga lari-larian di lorong. Ini kan bukan lapangan. Harusnya kamu yang minta maaf, karena kamu bikin makanan kucing saya tumpah begini," balas si pemuda, yang kemudian mengumpulkan pakan berserakan itu menggunakan kertas yang dipegangnya sebagai sapu.
Laras hanya diam tidak bisa membalas perkataan pemuda di hadapannya itu, karena memang dia tadi sedang berlari karena buru-buru.
"Saya buru-buru, lagian nggak ada aturan dilarang lari di lorong. Jadi saya nggak sepenuhnya salah, dong. Kamu juga ngapain bawa pakan kucing ke kampus?" balas Laras tak mau kalah atau lebih tepatnya tak mau merasa malu sendiri.
Pemuda itu masih sibuk mengumpulkan pakan tanpa sedikitpun membalas. Setelah selesai, pemuda itu berdiri menghadap Laras.
"Bukan urusan kamu, soal apa yang kubawa." Setelah mengatakan itu, pemuda itu berbalik meninggalkan Laras yang melongo mendengar ucapan si pemuda.
"Hei! Berhenti, main pergi gitu aja!"
"Mbak."
Baru saja Laras berteriak, seseorang menepuk bahunya pelan. Tiga orang mahasiswi yang entah sejak kapan sudah ada di belakangnya.
"Maaf, sebelumnya. Tapi saran saya Mbaknya nggak usah memperpanjang urusan sama dia."
"Cowok tadi maksudnya?"
Ketiganya mengangguk bersamaan. "Iya, Mbak. Sebaiknya nggak ada urusan sama dia, bisa panjang masalahnya."
"Memangnya dia kenapa?" tanya Laras lagi, jujur dia tidak mengerti kenapa ketiga cewek di depannya ini memberinya peringatan tiba-tiba.
"Em, Mbaknya bukan dari FK, ya?"
Laras menggeleng pelan, malu sih, soalnya dia kan tadi ke gedung FK cuma numpang ke toilet.
"Pantesan, nggak tau," ketiganya saling bertukar pandang lalu memberi isyarat agar Laras sedikit mendekat.
"Gini, Mbak. Saya bilang ini demi kenyamanan dan keamanan Mbaknya aja, ya. Jangan sampai apa yang saya bilang, nantinya Mbak sebarin ke fakultas lain," bisik salah satunya dengan raut serius. Membuat Laras ikut mengangguk.
"Cowok yang nabrak Mbaknya tadi, dia anak FK tapi terkenal gilanya. Bukan gila yang sungguhan, eh, gimana jelasinnya, ya," ucapnya bingung dan menatap kedua temannya untuk ikut menjelaskan.
"Cowok tadi itu namanya Askara. Tapi selama ini, dia terkenal sebagai orang yang punya sikap nggak normal, anak-anak sini nyebutnya 'gila'. Dia kayak Ansos gitu, nggak punya temen."
Laras hanya bisa ber'oh' kecil mendengar penjelasan atau gosip dari mahasiswi di hadapannya itu.