Menjadi orang yang dihindari, dan selalu menjadi bahan pembicaraan, adalah hal yang sangat biasa bagi Askara. Dia sudah tidak asing dengan pandangan buruk orang terhadapnya.
Askara tidak kecewa. Buat apa? Memangnya apa yang harus dia harapkan dari orang lain? Perhatian? Kasih sayang? Simpati?
Tidak.
Askara sudah tidak peduli lagi dengan semua itu. Dia hanya perlu bertahan hidup, meski dia sendiri tak yakin bagaimana harus menjalani hidup ke depannya. Dia hanya menaruh sedikit harapan pada hidup ini, menjadi anak yang bisa dibanggakan oleh maminya.
"Meng! Meng! Sini, aku bersihin lukanya, sini!" panggilnya membujuk kucing liar yang terluka kakinya karena tersangkut pagar, agar mau mendekat dan diobati olehnya. Dia sedang berada di halaman belakang gedung fakultasnya, yang memang sering dikunjungi oleh kucing liar .
Askara melakukan itu bukan karena suka, tapi dia selalu merasa kasihan dan merasa bertanggung jawab pada kucing yang jelas-jelas bukan miliknya itu. Kucing yang kelaparan tanpa tuan, bahkan sering terluka karena kecerobohan si hewan sendiri atau karena ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Setidaknya hanya ini yang bisa Askara lakukan sebagai makhluk sosial.
Dia lebih memilih berteman dengan kucing yang membutuhkannya daripada orang-orang munafik di sekitarnya. Dia tidak akan merasakan kecewa dari kucing-kucing itu. Sekalipun kucing itu akan pergi jika sudah tak membutuhkannya.
"Meng, sini dulu jangan lari!"
Kucing pincang itu justru ketakutan dan lari saat dia mencoba menangkapnya. Tidak tega melihat luka si kucing, Askara mengejarnya. Bertekad untuk mengobati luka si kucing sebelum melepasnya.
"Ah, maaf!"
Dia refleks mengucapkannya dalam posisi canggung, makanan kucing yang dibawanya tumpah berserakan di lantai, karena ada seseorang yang menabraknya saat berbelok di lorong.
"Kalau jalan liat-liat, dong, Mas!" tegur seorang gadis yang jatuh terduduk di lantai karena bertabrakan dengannya. Askara sedikit terkejut, dia fokus mengejar si kucing yang terluka sampai tidak sadar sedang membawa kemasan pakan kucing yang terbuka.
"Kamu juga lari-larian di lorong. Ini kan bukan lapangan. Harusnya kamu yang minta maaf, karena kamu bikin makanan kucing saya tumpah begini," balasnya sambil mengumpulkan pakan berserakan itu menggunakan kertas yang dipegangnya sebagai sapu.
Merasa tidak perlu mengatakan apapun lagi, dia berjalan pergi meninggalkan si gadis.
"Hei! Berhenti!"
Oh, gadis itu memanggilnya? Apa dia tidak salah dengar?
Namun, begitu dia menoleh, dia melihat gadis itu sudah dihampiri oleh beberapa mahasiswi yang dia ingat satu kelas dengannya. Dia mendengar samar kalau mereka membicarakan dirinya, juga 'keanehan' yang disematkan pada identitasnya.
Tapi Askara tidak peduli, paling dia akan mendapat cibiran dan ejekan seperti biasanya. "Yah, hilang kucingnya. Padahal bisa infeksi kalo lukanya nggak diobati," gerutunya menyesal tak berhasil menemukan si kucing. Melihat jam di pergelangan tangannya, ia bergegas kembali menuju kelasnya yang akan dimulai sebentar lagi.
Dua jam fokus di kelas terakhir, atensinya terganggu oleh sebuah pesan dari seseorang yang disayanginya namun juga dibenci olehnya.