Sejak pagi buta, langit telah mengguyurkan airnya dengan deras. Menyebabkan beberapa kegiatan pagi sedikit terhambat. Keadaan ini tak menghentikan Laras untuk tetap keras kepala masuk kuliah karena dia sudah ketinggalan banyak selama izin sakitnya. Tentu saja, setelah perdebatan kecil yang akhirnya dituruti oleh Pradipta, mengalah menjemput di tengah hujan dengan mobil.
"Ini tuh udah nggak apa-apa. Meski agak pincang dikit, sih. Aku takut kulit barunya robek lagi, tapi ini beneran udah nggak apa-apa."
Pradipta hanya diam menatap Laras yang meringis dengan tak yakin padanya. Dia baru saja tiba di rumah Laras, gadis itu sudah menunggunya di teras. Berbeda dengan Pradipta yang sebenarnya tak menyetujui keputusan Laras, namun terpaksa menurutinya.
"Nanti aku anterin sampe ke kelas aja."
"Ih! Nggak usah. Nanti di ceng-cengin anak-anak lagi, aku bisa sendiri, Dipta."
"Biarin aja di ceng-cengin, nggak ada urusan aku sama mereka."
"Nggak mau, pokoknya. Yang ada nanti aku bakal kena tatapan nggak enak dari cewek-cewek penggemar kamu, pasti dibilang caper. Aku nanti minta tolong sama Wanda aja. Ya?"
Menghela napasnya pasrah, Pradipta mengangguk, lagi-lagi menuruti keinginan Laras. "Nanti biar aku aja yang ngomong sama Wanda."
Setelah berpamitan, mereka berangkat. Pradipta mengemudi dengan hati-hati, sementara Laras yang menyukai hujan, memilih diam menikmati pemandangan di luar jendela. Laras menyukai suasana yang tercipta oleh hujan. Seolah berisiknya dunia teredam dengan derasnya suara rintik air yang berlomba jatuh ke bumi. Deras yang membuatnya fokus pada hujan itu sendiri, melupakan semua keributan apapun dalam kepalanya.
Dua puluh menit berkendara, mereka sampai di area kampus yang sepi karena hujan. Laras yang sejak tadi menatap ke luar, tiba-tiba mendekatkan dirinya ke jendela setelah matanya menangkap figur seseorang yang dengan mudah dikenalinya.
Askara.
DIlihatnya pemuda itu sedang berjongkok di depan kios fotokopi Mang Reza, menutupi sesuatu di depannya yang tampak seperti kucing dengan kemejanya. Entahlah, Laras tidak bisa melihatnya dengan jelas sambil berlalu.
"Kamu lihat apa?" Suara Pradipta yang pelan, mengagetkannya. Membuatnya menoleh pada sahabatnya itu.
"Hm, bukan apa-apa, kok. Ada orang tadi, kayak kenal tapi mungkin aku salah orang." Laras kembali duduk menghadap depan, meski sesekali kepalanya menoleh ke belakang memastikan apa benar tadi itu Askara.
Sedang apa pemuda itu di sana sendirian?
Tanpa sadar Laras memikirkan banyak kemungkinan yang dilakukan Askara, namun di kepalanya semuanya hanya berujung tak masuk akal. Apa dia menyelundupkan sesuatu, ya? Karena itu dia berusaha menyembunyikan dan menutupinya dengan kemeja? Tapi sesuatu yang ditutupi itu tampak seperti kucing. Dia membawa kucing? Oh, pertama kali mereka bertemu kan si Askara membawa pakan kucing. Untuk apa dia membawa kucing ke kampus? Bukannya FK melarang hewan di area fakultasnya?
"Laras? Kenapa ngelamun, ayo turun!" Laras bahkan tidak sadar kalau Pradipta sudah turun dan membukakan pintu untuknya sambil membawa payung.
"Dipta," panggilnya saat mereka menuju lobi fakultasnya.
"Apa?"
Laras menatap Pradipta sejenak, lalu menggelengkan kepalanya. "Nggak jadi, deh. Ini kamu anter sampai sini aja, aku bisa sendiri kok."