Hey Friend, Let's Not Fallin' In Love

Rie
Chapter #14

Bab 14. Second Chance

Ritme teratur dari alat-alat medis menjadi satu-satunya suara yang menyapa pendengaran Askara begitu ia membuka matanya. Matanya terasa berat untuk sekadar melihat sekitarnya. Suasana tenang yang Askara hapal, juga rasa ngilu dan sakit yang ia rasakan meski sudah sedikit berkurang dari sebelumnya.

Mengedarkan pandangan ke sekeliling, berusaha sadar dan menenangkan bising di kepalanya saat kesadaran menjemputnya. Kenapa ia di sini?

Memejamkan kembali matanya, Askara berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya, namun otaknya tidak mau bekerja sama saat ini. Ia mengingat semua hal yang membuatnya merasa menderita. Pukulan yang ia terima dari Papinya, rasa kesepian yang menyerangnya bersamaan kerinduannya pada saudara kembarnya. Napasnya pelan teratur melalui ventilator, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya, rasanya kaku. Rusuknya masih terasa sakit saat ia berusaha bangun.

"Oh, kamu sudah bangun?"

Suara ramah yang sudah dua hari ini ia hapal, menyapa telinganya. Sosok pria kira-kira seumuran dengan Papinya berjalan mendekatinya dengan senyuman hangat. Mengarahkan penlight ke matanya, lalu melihat patient monitor di sebelah tempat tidurnya.

"Kamu bisa bernapas dengan baik tanpa merasakan ngilu di hidung, kan? Masih terlihat biru tapi harusnya udah nggak apa-apa. Rusuknya masih sakit?"

Askara mengangguk sebagai jawaban. Ia mengarahkan pandangan ke tangannya yang terhubung dengan selang infus, menyadari tubuhnya pasti memiliki banyak bekas membiru yang ia sadar betul dari mana asalnya. "Sampai kapan saya di sini, Dok? Kapan saya bisa keluar dari sini?"

"Kamu boleh keluar jika kondisi kamu membaik, dan rusuk kamu yang patah kembali seperti semula. Saya harus menunggu apakah hasil operasinya berhasil dan tidak menimbulkan efek pada kamu."

"Kenapa Dokter melakukan operasi pada saya tanpa persetujuan?"

"Lalu membiarkan kamu sekarat karena infeksi? Saya ini dokter, bukan psikopat."

Dokter yang ia ketahui bernama Yusuf dari tanda pengenal di jas dokternya itu berdiri di sebelahnya setelah mengecek keadaannya secara keseluruhan. Menatapnya masih dengan keramahan dan kelembutan figur orang tua yang tak pernah ia lihat lagi dari Papinya.

"Kamu bisa beritahukan alamat rumah atau nomor telepon kamu pada saya. Supaya saya bisa memberi tahukan kondisi kamu pada keluargamu. Kata suster, kamu nggak mau kasih tahu, ya?"

Askara bungkam, memilih untuk mengalihkan pandangannya pada bunga Lily yang tampak segar dalam vas dekat jendela.

Untuk apa tahu alamatnya? Siapa yang akan mengkhawatirkan keadaannya? Papinya? Maminya?

Dia bahkan tidak ingat lagi apakah orang tuanya masih peduli padanya atau tidak. Mungkin cuma maminya, tapi maminya akan patuh pada setiap perintah papinya, sekalipun itu menyakitkan. Harusnya kehidupannya sudah berakhir, hingga dia tidak perlu merasakan kekecewaan dan sakit hati dari orang-orang yang seharusnya memberinya kasih sayang itu. Jika hidupnya diselamatkan seperti ini, bagaimana ia akan melalui hidupnya nanti?

Matanya kembali terasa berat, hingga tanpa sadar Askara kembali menutup matanya, juga meredam kebisingan kepalanya yang mempertanyakan kembali tujuan hidupnya. Hidup yang tak ia sesali namun enggan ia lanjutkan kembali. Namun, baru sebentar kembali tertidur, Askara terbangun karena mendengar suara pelan saling bicara di sekitarnya.

"Om Yusuf tadi udah ngomong sama dia?"

"Iya. Setelah Om periksa, dia kembali tidur. Tubuhnya masih lemah dan juga pengaruh obat. Secara umum, kondisinya sudah baik."

"Apa dia sempat bilang sesuatu, Om?"

"Dia masih tidak mau memberitahu alamat rumahnya."

Askara diam berusaha mengenali suara siapa saja yang ada di ruangan ini selain suara dokter Yusuf. Ah, iya ini suara si gadis kecelakaan itu.

"Oh, dia bangun, Ras."

Lihat selengkapnya