Hi... Bye (Dystopia)

tavisha
Chapter #4

Aries (Siapa kamu?)

“Apa menu hari ini?”

 Aku melangkah masuk ke dalam dapur, dua orang ibu-ibu paruh baya sedang menyiapkan makan siang untuk hari ini, seperti biasanya. Aku baru saja menggantung seragam sekolahku dan mengantinya dengan kaos oblong bersiap membantu. Seorang nenek yang terlihat sangat awet muda masuk mengagetkanku dengan pukulan lembut di bokongku tepat saat aku hendak mengambil alih pisau yang tadinya digunakan untuk memotong kentang.

 “Kau membolos?!” ujarnya sambil menaikkan kacamatanya.

 “Kenapa Nana berpikir seperti itu… Nah!” tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Ku taruh kembali pisau ke dalam baskom berisi kentang yang baru setengah di kupas kulitnya, Lalu menarik tangan nenek keluar dari dapur, “aku ada permohonan. Bisakah Nana membantuku?” Aku memanggil nenek itu dengan sebutan Nana itu panggilan akrab kami disini, katanya sebutan nenek tidak cocok untuknya.

 Nana adalah pemilik sekaligus pengurus panti asuhan yang sudah lama di bangun ini. Meskipun dia sudah berumur hampir enam puluhan dia masih sangat kuat dan terlihat muda. Aku bertemu Nana di tahun terakhirku di SMP sewaktu kunjungan menjadi relawan dan berakhir menjadi tempat pelarianku.

 Sudah hampir dua tahun, mungkin, aku menjadikan panti ini sebagai pelarianku. Dan aku masih belum terlalu akrab dengan anak-anak panti khususnya yang sebaya denganku. Kebanyakan anak-anak yang sudah SMA memilih mengasingkan diri dan menjauhkan diri sibuk dengan kegiatannya di dunia remaja. Kami tidak bergitu akrab, sesekali aku hanya berpapasan dengan anak-anak seumurku, tersenyum lalu pergi... Di saat mereka memilih untuk menjelajah dunia luar, aku justru membenamkan diriku dengan kegiatan panti. Khususnya membantu bagian dapur dan kebun. 

 “Kau membuatku merinding, memangnya apa permohonanamu? Kalau kau ingin pindah kesini… Oh, kalau itu... aku dengan keras menolak.”

 “Nana, tentu saja aku ingin tinggal disini, tapi bukan itu…”

 “Hah? Lalu Apa? Tumben sekali kau minta permohonan, biasanya kau langsung trobos saja tanpa permisi... Tapi, kau bolos kan hari ini? Setahuku di sekolahanmu ada acara sampai besok… Kenapa kemari?”

 “Ini jam istirahat Nana, lagipula aku tidak ada kerjaan di sekolah… aku bosan sekali! Ah, Nana, jangan membuatku lupa, aku punya permohononan. Sebagai balasannya aku siap mencuci piring sebulan penuh! Bagaimana?”

 Dia menatapku lalu melipat kedua tangannya di depan dada, “Apa itu? Tapi aku tidak menjamin bisa menolongmu...”

 “Yah Nana... ini kesempatan Nana sekali seumur hidup loh... tawaranku ini sangat jarang sekali ada... Nana pasti menyesal kalau menolak."

 Mendengar tawaranku, Nana menyungingkan ujung bibirnya meremehkanku... "Sepertinya aku tidak tertarik... aku tidak ingin menolongmu... lagipula aku harus menyiapkan makan anak-anak." Katanya mulai beranjak pergi.

 Sebelum dia memasuki pintu dapur kembali, dengan cepat aku berlutut di belakangnya, "Nana... Ku mohon jadi waliku sekali ini saja... Aku dapat surat panggilan wali untuk mengambil raportku.” Aku memasang wajah memelas seperti kucing yang pura-pura menipu tuannya untuk di beri makanan.

 Nana berbalik arah, menatapku. Lalu kemudian menyuruhku cepat-cepat berdiri, “Rapot?” Aku mengangguk, mengiyakan? “Setahuku sudah tidak ada lagi orang tua yang mengambil raport. Kenapa tiba-tiba sekali…” Nana menatapku menyelidiki.  

 "Anu... itu... ya... Tiba-tiba sekali Bagian Kesiswaan memanggilku... dan orang tuaku... Nana tau sendiri orangtuaku, ya... Nana tau kan mereka?" Aku mencoba mengode Nana yang aku yakin mengerti tentang permasalahan keluargaku semenjak aku pernah menangis hujan-hujan kesini dan memberi tahu tentang hubungan keluargaku waktu itu tidak seperti keluarga pada umumnya. "Mungkin saja nilaiku terlalu sempurna... jadi ya mereka ingin memberi pujian untuk orang tuaku."

 "Aku tidak yakin," katanya dengan wajah datar.

 "Nana... Kumohon.... aku tidak ingin beasiswaku diputus." Aku memasang wajah sedih, berharap dia luluh.

 "Jelaskan kenapa bisa walimu harus datang mengambil rapot? SECARA JUJUR!" dia menekan kata-katanya.

 "Aku ketahuan merokok... Ya, sayangnya begitu, jadi aku dan orang tuaku dipanggil... Aku... hanya penasaran saja dengan rasa rokok... aku belum.... benar-benar mengisapnya... percalah. Mereka mengancam aku tidak akan mendapatkan rapor dan beasiswaku akan... Nana... kumohon..."

 Nana mendesah, ia membuka apronnya. "Kapan?"

 Aku mengembungkan pipiku, "Besok..."

 "Aku tidak bisa kalau besok, aku sudah janji sama anak-anak akan membawanya pergi ke museum... Hari ini bagaimana?"

Lihat selengkapnya