Yang tidak bisa ku tahan adalah aku harus melepaskan kenyamananku dengan orang lain. Aku tidak ingin membuat Hans nyaman padaku atau diriku sendiri nyaman dengan orang lain. Itu adalah sesuatu yang menakutkan bagiku akhir-akhir ini. Itu menjadi masalah terbesar untukku beberapa tahun kebelakangan ini, yang masih belum bisa ku atasi. Itu alasan mengapa aku tidak begitu dekat dengan orang lain tertutama pada lawan jenisku. Aku hanya tidak ingin jika pertemananku suatu hari nanti di salah artikan. Aku memilih mengambil jarak pada mereka.
Saat pertama kali kenal dengan Hans juga, banyak yang menganggap kami seperti sepasang jodoh, karena ada beberapa persamaan sikap antara aku dan Hans yang sering dikait-kaitkan sehingga orang-orang selalu menganggap jika bukan saudara kembar, ya jodoh. Itu sangat membuatku tidak nyaman. Seperti, aku dan Hans yang tidak bisa makan sesuatu yang mengandung tomat; kami sama-sama menyukai alam; sama-sama alergi dengan udang dan masih banyak persamaan yang membuatku tidak ingin berada di dekatnya.
Perbedaan yang mencolok dengan ku dan Hans adalah karakter, aku adalah seorang Introvert sedangkan Hans adalah Ektrovert, itu yang menjadi poin para pakar asmara yang berada di sekitarku yang selalu meramalkan kalau aku dan Hans adalah pasangan yang saling melengkapi.
Secara langsung aku menjadi benci dengan Hans karena pengaruh lingkunganku, padahal Hans sama sekali tidak melakukan hal jahat kepadaku. Sebenarnya Hans itu cukup sopan, tapi aku selalu memberitahu kepada orang lain kalau anak itu sama sekali tidak punya sopan santun. Aku sudah terkontaminasi dengan lingkungan dan otak ku sendiri sehingga membuatnya selalu salah di mataku dan membuat orang yang belum mengenal Hans menjadi ikut-ikutan menganggap Hans berkelakukan tidak baik.
Namun bagaimana pun aku membuatnya selalu jelek di mataku, aku tidak bisa mengontrol pergejolakan batin kalau sebenarnya aku sangat peduli dengannya. Terlebih saat dia memberitahu kalau sebenarnya hanya tinggal sendiri dan jauh dari orang tuanya. Begitupun sewaktu dia sakit, aku juga turut membantu mengurusnya bahkan menjaganya bergantian di rumah sakit. Aku tidak benar-benar memusuhinya, hanya saja aku hanya menjaga jarak lebih jauh darinya.
Sekarang yang tidak ku ketahui, bahwa ibunya sudah tidak ada, membuatku menjadi lebih semakin merasa bersalah.
"Apa kau bahagia?" Tiba-tiba Hans bertanya saat kami menjeda pembicaraan kami sangat lama dan hanya menikmati keheningan.
Aku menoleh ke arahnya yang berada di sampingku, "Tentu saja ... Apa aku tidak terlihat bahagia?"
Dia membalas menoleh ke arahku, menarik senyumnya, mengangguk kecill sekan-akan ada sesuatu di pikirannya tentangku yang tidak bisa di ungkapkannya. "Apa yang kau pikirkan tentang masa lalu?"
"Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Jika diberi kesempatan apa kau mau pergi ke masa lalu?"
Sepertinya aku terperangkap dalam kesedihan di matanya. "Tentu saja ... banyak hal yang ingin ku ubah di masa lalu ..."
Dia tertawa, lalu menegakkan punggungnya. "Kau terlalu banyak nonton film ..." Aku memukul lengannya lagi lebih keras. Dia berbalik kearahku lalu mengeluh sakit. "Meskipun kau bisa kembali ke masa lalu, kau tidak bisa mengubah masa lalu ..."
"Ohhh ... Sekarang kau mau membuat teori baru?" Aku meremeh.
"Itu adalah sesuatu yang pasti selain kematian ... tidak ada yang bisa di ubah di masa lalu."
"Jadi jika kau kembali kemasa lalu apa tujuanmu?"
Dia menunduk sesaat, seperti menyesali sesuatu, lalu tersenyum dan melihatku, "Bertemu dengan ibuku ..."