Hi... Bye (Dystopia)

tavisha
Chapter #24

Cup of tea

Meskipun aku tidak menyalakan alarm pagi ini, aku bangun seperti biasa. Namun kali ini aku terbangun dengan keadaan kaget karena mengingat pesanan Aries di jam delapan nanti. Setidaknya aku harus bersiap-siap untuk membeli roti sebelum jam delapan pas, karena perjanjianku jam delapan.

Tentu saja itu sangat konyol, kenapa aku dengan bodohnya menyetujui persyaratan itu tanpa memikirkannya matang-matang terlebih dahulu. Aku tidak menyadari sebelumnya bahwa aku bisa seperti ini karena cinta pertamaku.

 Untung saja pembuat roti itu orang tua dari kak Desy penjaga perpustakaan di sekolahku. Sayangnya kami hanya bertetangga toko saja, keluarga Kak Desy tidak tinggal di daerah sini, mereka hanya punya toko disini karena berdekatan dengan sekolah dan juga beberapa perkantoran jadi strategis untuk berjualan.

Sebenarnya jam buka toko roti itu jam sembilan, tapi karena aku mengenal pemiliknya aku diperbolehkan menunggu roti keluar dari oven sebelum jam delapan pagi meskipun aku harus menunggu itu tidak masalah bagiku. Menunggu di toko roti itu sebuah kenikmatan sendiri, terlebih saat aku bisa mencium dan menikmati roti yang masih hangat bersanding dengan teh hangat di pagi hari.

"Tidak biasanya beli roti jam segini?" Tanya tante Arumi saat aku membaca salah satu novel yang tersedia di toko ini sambil menikmati teh manis hangat di sudut ruangan.

Aku tersenyum, "Akan menjadi kebiasaan nanti beberapa waktu ke depan."

"Oh, itu membuatku semakin bertanya-tanya."

"Eung?"

"Apa karena anak laki-laki kemarin?"

Pertanyaan itu cukup biasa saja dan tidak ada istimewanya, tapi kenapa aku merasa gugup dan malu mendengarnya? Pipiku terasa panas karena malu. "Ah ... tidak," Aku berbohong. "Tapi aku merekomendasikan roti srikaya. Dia benar-benar menyukainya. Teman-temanku juga suka."

Di balik senyum Tante Arumi dia seakan menyelidiku, "Sepertinya banyak yang ketagihan dengan roti srikayaku ya? atau karena orang yang membelinya?"

"Hoh?"

"Terkadang aku juga binggung, apa karena rotinya yang manis atau pembelinya yang manis? Kebanyakan yang beli roti ini manis-manis. Setiap membuatnya aku jadi semangat kalau mengingat pembelinya. Apa kau tahu? Srikaya itu berarti keindahan dan kebaikan. Kurasa penyukanya juga seperti itu."

Aku tersenyum malu mendengarnya.

Tidak lama kemudian Kak Desy keluar dari dalam dapur menuju ke etalase roti di tengah ruangan, "Kali ini kami bikin yang spesial. Jarang-jarang ada pelanggan yang ngotot mau beli jam segini. Benar-benar merepotkan," keluhnya bercanda sambil memeluk buket roti berisi roti srikaya yang sudah siap di pajang dan di pilihkan untukku.

"Aku akan jadi penglaris. Biasanya auraku akan membawa keberuntungan buat penjual yang selalu ku datangi." kataku sambil menghirup teh hangat.

"Ku harap begitu. Kalau tidak aku akan terjebak selamanya di perpustakaan." Kata kak Desy sambil memasukkan satu persatu roti pesananku ke dalam kantong kertas.

"Aku lebih suka terjebak di perpustakaan apalagi ada foodcourt-nya, kurasa itulah surgaku."

"Sayangnya aku tidak bisa berkarya dengan foodcourt itu, makanan yang tersedia selalu sama. Aku menghawatirkanmu yang selalu memakan makanan yang sama selama ini di sana."

Lihat selengkapnya