Hi... Bye (Dystopia)

tavisha
Chapter #38

Right here waiting

"Sepertinya noda di baju bukan masalah besar ya. Baru kali ini aku lihat orang yang tidak kesal bajunya kotor di saat ada pesta," kata Nana sambil mencari baju di gantungan lemari.

 Ini baru pertama kalinya aku masuk ke kamar Nana. Kamar Nana begitu sederhana dan terasa sekali nuansa khas orang-orang yang pernah hidup di era 90-an. Hampir delapan puluh persen perabotannya masih menggunakan keluaran lama. Tempat tidurnya masih menggunakan ranjang-ranjang model lama yang memiliki tiang-tiang dengan tirai kelambu, terkesan ketinggalan jaman sekali. Di samping tempat tidurnya ada lemari kecil, di atasnya ada radio lama yang masih di desain menggunakan bahan kayu, radio itu masih terawat dengan baik meskipun di buat dari bahan kayu.

 Di sisi lain aku melihat gramofon dan tumpukan album piring hitam, di sisinya ada puluhan atau mungkin ratusan buku-buku tua yang sudah menguning. Di tambah lagi dengan kursi goyang yang membuat ruangan ini sangat klasik. Aku bahkan membayangkan Nana mendengarkan musik-musik klasik duduk di kursi goyang itu sambil membaca buku.

 Dari dalam kamar Nana aku masih bisa mendengar suara permainan piano Aries, dan kali ini aku tidak bersusah payah untuk mengenal lagu apa yang sedang dia mainkan.

 "Dia hanya memainkan lagu-lagu pesanan orang hari ini, kali ini dia membawa lagu yang ku minta," kata Nana lagi sambil mempersilahkan aku duduk di tempat tidurnya yang.

 "Mekipun lagu lama, ternyata mendengankan instrumennya menggunakan piano lebih bagus ... ini pertama kali aku mendengarkan tanpa lirik," balasku yang mengerti arah pembicaraan Nana.

 "Ternyata kau tahu juga ya lagu ini? Ini cocok sekali buatmu," katanya sambil memilihkan baju.

 "Ayahku dulu suka memutar lagu ini. Aku sampai hapal liriknya ..." Aku tertawa mengingat masa-masa ayah kandungku yang suka sekali mendengarkan lagu-lagu Richard Marx." Aku melirik ke figura-figura kecil yang berada di sisi tempat tidur Nana lagi. "Boleh ku lihat?" Ijinku, setengah berbaring penasaran melihat di seberang tempat tidur, foto-foto yang sudah sangat lama.

 "Tentu, lihat saja ..."

 Nana mengeluarkan jaket denim, rok kotak-kotak dan baju kaos lengan pendek berbahan rajut tipis dan menaruhnya di atas tempat tidur.

"Wuah, ku pikir Nana akan memberikanku baju-baju jadul," kataku melihat sebentar lalu kembali melihat-lihat foto-foto Nana.

 Nana muda cantik sekali, aku juga melihat salah satu pria dewasa yang duduk di samping Nana menggunakan pakaian militer, sepertinya itu suaminya yang tak kalah tampannya. Di figura lain aku melihat ada foto keluarga di mana ada pasangan lain yang sepertinya anak Nana, tampak familiar, tapi entah kapan bertemu denganya, atau mungkin pernah berpapasan denganku sewaktu membantu di asrama, entahlah. Di foto itu pula Nana dan suaminya mengapit anak kecil berwajah kaku menggunakan kacamata, yang sangat ku kenal, dia Marco.

 "Aku tidak menyangka ku pikir dia hanya relawan di sini ..."

 "Siapa kau maksud?"

 "Mereka anak dan cucu Nana kan?" tanyaku menunjuk foto keluarga itu. Nenek mengangguk. Pantasan yang satunya dapat perlakuan berbeda. Ternyata masih cucu Nana. Dengan fasilitas yang mendukung wajar saja Aries menemanti ruangan yang lengkap seperti rumah sendiri di aula itu.

 "Kalau ku tahu Marco cucu Nana, sudah dari lama aku meminta nomor teleponnya dengan Nana," ujarku centil.

 "Kau juga sih, tidak bertanya ... hanya bertanya sepupunya Aries. Ternyata kau kenal dengan Marco juga ya?"

 "Mereka berdua sempat sekelas denganku di TK ... lihatlah, dia masih sangat manis di foto itu." Aku tersenyum malu-malu memikirkan kembali pertemuanku dengan Marco barusan.

 "Siapa yang sangat manis? Kurasa ada hubungannya dengan Noda di bajumu..." Nana mengoda sambil duduk di sampingku.

Lihat selengkapnya