POV Aries
Aku melihat semuanya pada sore itu, sore yang mengubah hidupku selamanya. Aku menyaksikan kedua orang tuaku terbunuh, dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Di tengah kengerian yang membekukan tubuhku, aku melihat seorang perempuan baru saja memberhentikan mobilnya, ia menggunakan coat berwarna hitam panjang, menggunakan sepatu boots bertali warna hitam, berdiri di dekat mobil, menunggu rekannya menuntaskan eksekusi. Wajahnya dingin, tegas—garis-garis wajah yang bercerita tentang hidup keras yang telah ia jalani. Usianya mungkin sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun, namun tampaknya perawatan menjaga penampilannya tetap terjaga. Namun, ketegasannya seperti menutupi suatu rahasia, sesuatu yang tak mudah terungkap.
Beberapa bulan setelahnya, aku tidak sengaja bertemu lagi dengan perempuan itu. Dia berdiri di depan makam orang tuaku, tampilannya masih sama, dia menggunakan coat hitamnya panjang seperti terkahir kali, mata tertuju pada nisan dengan hening yang menusuk. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan, terlalu takut mendekat dan menghadapi sosok yang selalu muncul dalam bayanganku. Ketika dia pergi, aku menyadari sesuatu yang mengusik, wajahnya... ada kemiripan yang tak bisa kuabaikan. Wajah itu menyerupai seseorang, seseorang yang belakangan ini sering muncul dalam hidupku—Stephanie.
Awalnya, kukira perempuan itu adalah ibunya, tapi ternyata bukan. Bayangan itu semakin jelas dalam pikiranku, saat kusaksikan perempuan itu datang lagi, memandangnya dari jauh saat kasus pembunuhan orang tuaku sedang dalam proses penyelidikan di kantor polisi.
Wajah itu mirip, sangat mirip dengan Stephanie—anak yang menjadi saksi dalam peristiwa itu, namun ia lebih dewasa dari anak itu —lebih penuh bayangan cerita yang gelap dan perjalanan yang kelam. Aku tak bisa berhenti memikirkannya, bahkan ketika aku mendekati Stephanie yang aku kenal, mengawasinya dalam perjalanannya. Mencari tahu tentang dirinya dan kehidupannya tanpa sadar membuatku semakin ingin melindunginya, semakin tertarik pada sisi rapuh yang ia coba sembunyikan di balik ketegaran yang keras.
Perasaanku pada Stephanie tumbuh tanpa bisa kucegah, meski misteri demi misteri seakan melingkupi sosoknya. Aku berharap perasaan ini saling berbalas, namun suatu malam di dermaga, kenyataan yang menghantam justru membuatku tersadar.
Di antara suara ombak yang mengalun pelan, aku termenung, tenggelam dalam pikiran. Tiba-tiba, perempuan itu, sosok yang mirip Stephanie dalam versi yang lebih dewasa, penuh misteri dan kesuraman, duduk di sampingku tanpa peringatan. Pandangannya kosong, menatap laut seakan menemukan rahasia dalam kedalaman. Tanpa melihatku, ia berkata pelan, suaranya begitu hening hingga nyaris menyatu dengan angin malam.
"Maaf... Seharusnya insiden itu tidak pernah terjadi," ucapnya, seakan-akan merujuk pada pembunuhan orang tuaku.
Kata-katanya menghantamku. Bukan hanya karena dia mengakui keterlibatannya dalam tragedi itu, namun juga caranya yang santai, seolah itu hanya bagian kecil dari hidupnya. Jantungku berdegup kencang, setengah ngeri, setengah bertanya-tanya apa aku juga menjadi incaran berikutnya.
"Dalang dari semua ini takkan bisa kau temukan, bahkan jika aku di sini sekarang," lanjutnya. Kata-katanya membawa dingin yang menghantam lebih kuat dari angin laut. Seakan-akan dia sudah menyadari aku sudah mengetahui apa yang dia lakukan di hari itu.
Saat itu, keberanian tiba-tiba muncul. “Maaf… kamu siapa, dan apa maksudmu?” tanyaku pelan.
Dia menoleh, menatapku dengan mata yang dalam, penuh rahasia. “Kau tidak mengenalku?” tanyanya, nadanya hampir tersenyum namun dingin. Aku ragu, berusaha mencerna maksudnya. Di benakku, aku ingin menjawab 'ya'—bahwa dia mirip sekali dengan Stephanie. Namun, tidak mungkin. Aku tahu Stephanie—aku menyaksikan sendiri dia tumbuh hingga kini duduk di bangku SMA, sementara perempuan di hadapanku tampak sama seperti ketika pertama kali kulihat. Namun di ingataknku yang lain aku ingin mengatakan 'ya' karena aku melihatnya di lokasi mengerikan itu.
Sosok itu berkata lagi, lebih pelan kali ini. “Sepertinya aku telah mengganggu jalan takdirmu. Suatu hari nanti, berusahalah sekeras apa pun, jangan lagi pernah lagi terlibat denganku.” dia tersenyum tipis.