Pertanyaan itu terus menghantui pikiranku, seolah terukir dalam setiap langkah yang kuambil. Stephanie, dalam usahanya yang tak henti-hentinya, berusaha mencegahku untuk pergi melanjutkan studiku di Jepang. Walau hatiku berperang antara rasa ragu dan keyakinan, pada akhirnya aku memutuskan untuk tetap pergi. Terlebih lagi, Hans—sosok yang pernah mengungkap banyak kebenaran—benar-benar menghilang, berdalih berpindah sekolah, hilang tanpa jejak.
Aku meninggalkan semua, benar-benar sangat berat, mungkin yang mereka lihat aku meninggalkan mereka seakan-akan tak punya beban apapun. Nyatanya aku tak bisa menahan sesak di dadaku dan menangis cukup lama di dalam pesawat dengan apa semua yang ku tinggalkan dan hal-hal yang semakin tak masuk di logikaku terus-terusan mengikutiku secara mengerikan.
Tak menyangka juga bahwa perempuan misterius itu, perempuan yang tampak seperti Stephanie dewasa, sempat ku lihat di pesawat yang sama saat aku berangkat ke Jepang. Hidupku seolah diatur oleh sebuah skenario yang tidak ku inginkan, hingga bencana alam itu terjadi. Gempa bumi dan tsunami mengguncang Jepang, dan aku menjadi salah satu korban. Dalam momen-momen kritis itu, sebelum aku terjebak dalam amnesia pasca bencana yang menghilangkan satu kakiku, aku ingat wajahnya. Dialah yang menarikku keluar dari pusaran air yang menelan segalanya. Dia perempuan itu, Stepanie dewasa, yang entah apa benar datang dari masa depan. Kepalaku benar-benar sakit septiap memikirkannya.