Hi... Bye (Dystopia)

tavisha
Chapter #1

Hi, Destiny! #1

#30 Oktober, 2010~

 

Lagu ~Lady Galaxy~ yang di bawakan oleh BoA berhenti lima menit lalu, dan kini berbunyi lagi di handphoneku, aku memasang lagu itu untuk nada dering alarm. Alarm itu berbunyi untuk ke-delapan kalinya semenjak pukul empat. Mataku terasa berat, tapi aku tidak bisa tidur, sudah sejam aku hanya duduk di sofa yang berada di ruang televisi. 

~Drrt… Drrrt~

[Cepat kirimkan fotomu, aku ingin lihat kau pakai apa untuk acara hari ini.]

sebuah pesan masuk dari Karina. Aku hanya melihatnya sesaat tanpa membalas dan kembali menaruh handphoneku di samping dudukku tanpa memikirkan apa maksud dari isi pesan Karina.

Langit masih sepenuhnya gelap, cahaya lampu jalanan yang menembus rumahku seakan hanya satu-satunya cahaya yang ada di kehidupanku saat ini. Dengan cahaya seadaanya aku bisa melihat ruangan yang porak-poranda seakan-akan baru saja terjadi gempa bumi. Sebentar lagi jam enam, aku harus membereskan kekacauan ini sebelum aku nantinya terlambat pergi ke sekolah.

~"CQ, CQ, CQ"~

~“Yangkee- Siera-Siera… bla-bla-bla”~

~“bagaimana keadaan disana?” ~

~“Apakah ada yang bisa mendengar?”~

 

Suara dari radio amatir di ruang kecil yang berada ruangan pribadi ayahku di lantai dua terdengar mulai meredup karena signalnya terputus-putus. Kupikir ayahku sudah tertidur, atau mungkin saja dia pergi tanpa mematikan radionya terlebih dahulu.

Sejak beberapa hari terakhir, kegiatan radio selalu ramai, radio di ruangan pribadi ayahku tidak hanya satu, suara semakin ramai jika semuanya dinyalakan dengan frekuensi berbeda dan transmit yang bertabrakan. Terlebih semenjak bencana alam beberapa hari lalu radio semakin tidak ada jam istirahatnya.

Ada beberapa orang terdengar masih mengudara di sana. Aku ingin mematikan radio itu, jika saja bisa… aku terlalu takut untuk naik ke lantai atas, bau alkohol masih menyengat se-lantai satu. Dengan keadaan rumah di pagi hari seperti ini, tentu saja aku tidak berani melakukan apa-apa. Diam adalah satu-satunya cara untuk bersikap waspada. Jadi aku memilih untuk mengabaikannya, dan diam-diam membereskan kekacauan yang ada di depan mataku.

Butuh setengah jam sendiri untuk membersihkan ruangan karena kekacauan semalam. Ada banyak pecahan yang berhamburan di sepanjang lantai, kalau tidak hati-hati bukan beling-beling saja yang tertinggal melainkan darah dari kaki yang abai dengan keberadaannya. Lagi-lagi lampu belum di ganti semenjak sebulan lalu, membuat mataku harus lebih siaga menyadari beling-beling dengan cahaya dari senter handponeku yang tidak begitu terang. Untung saja semua bisa teratasi sebelum pukul enam.

Aku tidak terlambat pergi ke sekolah, tapi aku terlambat menyadari kalau hari ini penyambutan hari hallowen untuk besok, yang di adakan oleh OSIS sebagai perayaan class meeting terakhir sekaligus pengambilan rapot hasil semester ganjil. Aku baru ingat kalau acara berlangsung sampai malam, dan akan ada malam pentas seni yang tidak juga mewajibkan anak-anak untuk berkemah untuk persiapan festival besok hari. Setahuku, hanya anak-anak yang diijinkan orang tuanya saja yang bisa bermalam, meskipun aku diijinkan, aku juga tidak berminat untuk ikut bermalam di sekolahan.

Sepanjang jalan menuju ke sekolah, siswa-siswi yang berasal dari sekolahanku terlihat begitu nyentrik dengan pakaian aneh mereka. Hari ini mereka benar-benar mengikuti dresscode yang di adakan pihak OSIS, tidak denganku.

Dresscodeku hari ini tetap sama dengan hari-hari sekolah pada umumnya, aku hanya mengenakan pakaian formal sekolah tanpa peduli dengan penilaian anak-anak lainnya. 

“Hei! Kau cosplay karakter siapa? ~Kau sama sekali tidak berusaha ya…” Karina yang berada di depan pagar, sedang duduk di atas sepedanya, sengaja menunggu kedatanganku sebelum akhirnya sama-sama masuk gerbang. Karina terlihat mengunakan pakaian tentara serba hijau, layaknya di anime Sound of the Sky. Aku baru ingat dia memintaku menemaninya menjahit baju itu dua minggu lalu.

 

“K-On!” Jawabku ogah-ogahan.

“Seharusnya kau bawa gitar juga.” 

“Haruskah? ~Ah, aku lapar…” Keluhku berjalan cepat-cepat meninggalkan Karina yang baru saja menaikkan standar sepedanya.

“Kakak kelas kemarin lagi-lagi mendatangiku, dia mencarimu lagi. Apa kau sudah memberikan suratnya ke orang tuamu? Dia selalu memeringatiku, kau ini!”

“Ku rasa ujian sudah selesai, aku tidak belajar lagi… kenapa kau selalu bertanya?” Aku memasang wajah pura-pura sedih.

 

“Ini pertanyaan yang tidak perlu kau pelajari, sebenarnya, ada masalah apa? Lagipula pengambilan rapor kan tidak perlu bawa orang tua.”

Lihat selengkapnya