Hi... Bye (Dystopia)

tavisha
Chapter #2

First day, I see you. . .

Aku tidak peduli ke mana dia akan menyeretku, aku hanya mengikuti tarikannya tanpa protes. Rasa malu sudah mengikat semua inderaku. 

Ruangan kecil, penuh buku dan sedikit lembab.

Ternyata dia membawaku ke ruangan khusus yang dihuni anak penegak kedisiplinan. Aku tidak tahu kenapa. Aku tidak berharap dia akan mengintrogasiku karena kasus salah masuk toilet.

Ini adalah hal yang paling memalukkan seumur hidupku. Aku tidak membayangkan bagaimana jadinya jika aku memergokki guru-guru yang sedang buang air-jika itu terjadi aku akan pindah sekolah tanpa koordinasi lagi dengan kedua orang tuaku. 

Segala gambaran pertanyaan yang ada di kepalaku tentang insiden di dalam toilet berterbangan kesana-kemari. Bagimana jadinya jika dia bertanya apa yang sudah ku lihat disana-mendadak aku menjadi merinding. Seketika sosok wibawa seorang Aries menjadi luntur dalam padanganku, dia menjadi tidak ada bedanya dengan cowok-cowok pada umumnya yang otaknya sedikit… ya kurasa kau tahu maksudku..

“Kenapa orang tuamu belum datang?” Aku mendongak ke arah Aries yang berdiri di depanku-sofa di ruangan ini sangat nyaman. “Hei!” Tegur Aries lagi di tengah kekagumanku merasakan sofa empuk di ruangan kecil ini.

“Apa?” jawabku, acuh tak acuh, sembari memandangi ke sekeliling ruangan.

“Seharusnya orang tua mu datang kemarin, dan sekarang, mereka juga tidak datang.”

Aku mengangguk-angguk, “Aku sudah memberi tahumu, orang tuaku sangat sibuk sudah pasti tidak datang.”

Tiba-tiba saja dia mengambil tasku secara paksa dan memuntahkan isi-isinya ke atas meja.

“Eh, eh! Apa-apaan ini?!”

“Jika kau ingin berbohong, kau harus melakukan riset terlebih dahulu,” ujarnya menarik amplop yang berisi surat panggilan yang ia berikan seminggu lalu.

“Kurang ajar sekali kau, hey!” aku berdiri, mengambil kembali tasku dan mengembalikan isi-isinya ke dalam. “kau memang penegak kedisiplinan, tapi kau tidak bisa enaknya mengobrak-abrik isi tas orang lain!”

“Kalau tidak begini, aku tidak tahu kau sudah memberi surat ini ke orang tuamu atau tidak.” Dia mengangkat amplop undangan pemanggilan orang tua di hadapanku.

“Ya! Sudah ku katakan, orang tuaku sibuk akhir-akhir ini tidak kah kau mengerti?”

“Dia hanya perlu datang se-jam ke sekolah, apa dia terlalu sibuk sampai-sampai tidak punya waktu satu jam untuk anaknya.”

Aku memicingkan mataku, tidak terima, “Satu jam itu tidak untukku, tapi untukku kalian … tentu saja dia tidak ada waktu hanya mendengar komplain kalian karena ya … lagi pula aku tidak merokok lagi kan?!”

“Kesalahanmu tidak sekali dua kali, apa aku perlu ku ingatkan agar kau sadar dengan kelakukan mu? Ini sekolah, bukan taman bermainmu.”

“Stop! Stop! Kau menghabiskan banyak waktuku. Aku harus ke kelas untuk mengambil rapotku.” Aku berjalan begitu saja melewatinya, tapi dia tidak membiarkanku pergi dan menarik kerah baju bagian belakangku.

"Jangan terlalu berharap, raportmu sudah di tahan oleh guru kesiswaan dan, jika kau ingin tahu, beasiswamu akan ditanguhkan. Jadi bersiap-siaplah." Aries menatapku remeh, dia menyunggingkan sebelah bibirnya kemudian melepaskan pegangannya, "panggil orang tuamu!" dia mengancam di akhir kalimat.

Aku membalasnya dengan senyum, “Kau kira aku takut?” Aku mengeleng, “aku tidak peduli dengan beasiswa itu, kau pikir orang tuaku tidak bisa membiayai sekolahku. Lagi pula aku masuk kesini karena mereka yang menawarkan diri, bukan karena aku yang menyodorkan beasiswa, aku hanya tidak ingin mereka kecewa. Kasihan sekali kan kalau aku menolak tawaran sekolah nomor satu di kabupaten.” Aku berlenggok sombong keluar dari ruangan. 

Sejauhnya dari ruangan mereka, aku memukul-mukul kepalaku ... bodoh!

Aku memang benar masuk sekolah karena beasiswa, tapi untuk alasan selanjutnya, itu bukanlah hal yang benar. Tentu saja aku butuh beasiswa itu. Bagaimana pun, siapa yang mau menyekolahkanku di sekolah bergensi dengan biaya mahal seperti ini?

Semenjak ayah berhenti bekerja, dunia seakan terbalik. Keadaan rumah tidak terkendali. Ibu kembali mendapatkan pekerjaan setelah sekian lama, tapi resikonya dia jarang pulang. Kedua orang tuaku tidak begitu antusias apakah aku melanjutkan sekolah atau tidak. Terlebih ayahku bukanlah ayah kandung, tidak ada yang bisa di harapkan. Aku juga tidak bisa meminta banyak dari ayah sambung yang mendadak menjadi pengangguran. 

Beasiswa adalah satu-satunya, ini adalah aji mumpung. Otakku tak di buat seperti yang di punya anak-anak pintar pada umumnya. Beasiswa ini hanya kebetulan saja berpihak padaku, jika saja dua tahun wajahku tidak terpapang di koran dan televisi aku mungkin tidak akan di tawari beasiswa seperti ini.

Sekarang hanya kata-kata kosong saja yang keluar dari mulutku. Aku hanya bisa memukul kepalaku untuk menghukum diriku yang berlagak sombong di depan orang yang juga menerima beasiswa. Bagaimana aku bisa meremehkan seorang Aries.

“Kau darimana saja?” tiba-tiba saja Karina muncul dari balik punggungku sewaktu aku mulai berjalan menjauh dari ruangan anak penegak kedisiplinan.

Aku hampir memukulnya karena muncul mendadak seperti itu. “Untung saja aku gak membawa pemukul baseball, kalau gak …” Aku menirukan gaya memukul baseball dengan kesal ke arah Karina.

Karina memajukan bibirnya yang mengerucut, “Bu Lia dari tadi mencarimu.”

Lihat selengkapnya