Klop … Klop … Klop …
Suara sepatu itu kian mendekat ke arah meja tempat aku meletakkan kepalaku dengan malas. Aku benar-benar tidak punya kekuatan melawan rasa malasku. Aku hanya sekilas beradu pandang dengan penjaga perpustakaan yang mengantarkanku dua sandwich telur yang tadi kupesan dari foodcourt, yang lokasinya masih berada di dalam perpustakaan.
“Seharusnya kau makan di kantin.” Ia meletakkan dua sandwich telur di depan hidungku. Aku tidak perlu canggung dengannya, walau terlihat judes, sebenarnya penjaga perpustakaan ini sangat baik, wajahnya menipu banyak orang. Aku juga sudah lama kenal dengannya, Kak Desy, dia sudah ku anggap seperti kakak perempuanku.
Aku mengangguk-angguk dengan malas dengan posisi kepalaku masih menempel di meja, “Sayangnya yang tersedia saat ini bukan makanan kesukaanku.”
“Kau harus bersyukur, lagipula kau tidak bayar juga kan?”
Aku duduk, meluruskan punggungku di kursi, “sandwich ini," Aku mengangkat ke arahnya, “juga tidak ku bayar … jadi apa bedanya?“ itu karena aku berkerja untuk me-review buku yang nantinya akan di masukkan ke web perpustakaan sekolah, sebagai bayarannya aku mendapat jatah dua susu kotak dan sandwich telur untuk sekali upload review buku.
“Bukankah seharusnya kau ikut mendekor bersama teman sekelasmu, kenapa malah bersembunyi disini?”
“Aku tidak sembuny ... nyii ....” Seketika saja perhatianku teralihkan ke seseorang yang baru saja masuk ke dalam perpustakaan. “Kak, pernah mendengar istilah syndrome stockholm?” cepat-cepat ku alihkan padanganku ku ke Kak Desy agar dia tidak menyadari apa yang barusan ku lihat.
Kak Desy tampak berpikir, kemudian dia mengangguk, “Bukankah itu salah satu kelainan mental?”
Aku balas mengangguk.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?”
Aku sedikit gelagapan, “Aaaa … Kemarin ... aku membaca dan menemukan istilah itu … bukannya itu mengerikan?”
“Tentu saja, tahu makna dari sindrom itu saja sudah membuat ku merinding … Bisa kau bayangkan bagaimana penderitanya bisa menyukai orang yang menganiayanya?”
“Yah … itu mengerikan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana itu bisa terjadi.”
“Apa kau pernah bertemu dengan orang yang menderita sindrom seperti itu di sekitarmu?”
Aku menggeleng cepat. Tidak lama kemudian dia teralihkan karena melihat ada seorang yang berjalan ke mejanya untuk mengembalikan buku. Aku bersyukur bahwa pembicaraan itu tidak berlangsung lama.
Bukankah itu mengerikan? Tapi ku rasa aku lah justru mengalami sindrom itu.
Dia duduk di searah denganku, di depan sana, tentu saja aku bisa melihatnya dengan jelas tanpa ada satupun penghalang.
Pipiku mendadak panas. Apa benar aku mengalami sindrom itu?
Ini bukanlah jatuh cinta untuk pertama kali, ku rasa waktu itu juga aku sudah jatuh cinta, aku menyukai teman sekelasku sewaktu di TK.
Ingatan itu masih ada sampai sekarang, bahkan wajahnya saja masih ku ingat. Bagaimana tidak, foto TK itu masih tertampang jelas di meja belajarku di rumah beberapa tahun lalu, sayangnya sekarang sudah hilang entah kemana semenjak renovasi rumah. Aku tidak tahu di mana ibu menyimpannya.
Anak yang ku temui sewaktu TK itu benar-benar pendiam, sangking pendiamnya dia selalu di tindas dengan anak-anak kelas pada masa itu. Belum lagi tampangnya yang culun, berkacamata di usia muda dan pipinya sedikit chuby selalu menjadi bahan ledekan, tapi kurasa itu yang menjadi daya tarikku.
Aku suka seseorang yang rapi, terlihat seperti kutu buku, berkacamata, rambutnya tidak perlu di bentuk bermacam-macam agar terlihat keren, tapi dia sudah keren pada masa itu, sebenarnya wajahnya manis. Sayangnya, dia tidak pernah peduli dengan kehadiranku. Aku sampai melakukan bermacam-macam cara agar untuk menarik perhatiannya, namun sampai kami berpisah aku tidak memberitahu perasaanku dan dia tidak pernah menyadari aku menyukainya.
Benar-benar itu adalah cinta monyet, mungkin jika aku benaran jatuh cinta lagi saat ini, itu masih di kategorikan cinta monyet juga.
Tiba-tiba saja aku ingin mencari tahu tentangnya lagi … Aku penasaran, Bagaimana perkembangannya sekarang? Apa dia sudah sangat tinggi? Atau parahnya dia benar-benar menjadi anak pendiam seumur hidupnya dan tidak peka dengan lingkungan sekitarnya … kurang lebih denganku sekarang. Bukankah itu pertanda kami jodoh? Dia pasti sangat keren, kan?
Dan setelah sekian lama, aku justru jatuh hati lagi. Sialnya, pada seseorang yang selama ini menindasku? Apa itu benar-benar penindasan? Tapi bagaimana pun dia selalu mencari setiap masalah padaku. Aku tidak tahu kenapa dia terus yang selalu menangani masalah-masalah itu sampai aku muak, sekarang aku malah jatuh hati padanya hanya karena melihatnya tersenyum saat menyiram bunga???
Gila!
Bertolak belakang sekali dengan cinta pertamaku sewaktu dulu. Orang yang tidak pernah mengeluarkan sepatah kata, dan kini dengan seseorang yang selalu mengeluarkan kata-kata menyakitkan.