Hi... Bye (Dystopia)

tavisha
Chapter #13

Siapa yang harus ku percaya?

Semua lampu ruangan telah dinyalakan kembali. Siswa-siswa terlihat senang dan segera melepaskan pernak-pernik yang melekat di badannya selepas juara di umumkan. Sekarang aku baru mengerti, ternyata pemenang kontes kostum halloween di beri hadiah liburan ke Derawan untuk tiga hari dua malam, pantas saja mereka bela-bela memakai bajunya seharian. Sayangnya hanya tiga orang yang mendapat juara, dan masing-masing di beri kesempatan untuk membawa satu teman untuk di ajak liburan bersama. Dan salah satu juaranya yang tidak ku sangka-sangka adalah Hans, aku tidak tahu bagaimana penilaian juri bisa memilih Hans keluar sebagai pemenang, padahal dia telah mengganti kostumnya dua kali. 

Sekarang anak-anak kembali ke tempatnya masing-masing. Ada yang kembali melanjutkan kegiatan mendekor, mempersiapkan bahan makanan yang akan di jual di festival besok di stand masing-masing kelas. Ada pula yang bersiap masuk ke ruangan yang sudah di persiapkan untuk menginap, di mana ruangan di bagi sesuai dengan gendernya. Anak perempuan di tempatkan di lantai dua dan tiga sedangkan anak-anak cowok menempati lantai satu di mana aksesnya di perkecil agar tidak bisa menganggu wilayah para anak perempuan.

Kini penjagaan semakin di perketat, anak-anak kedispilinan mulai berjaga di setiap sudut dan di wilayah tempat menginap, ada juga yang berpatroli agar keadaan lebih kondusif dan tidak terjadi apa-apa. Benar-benar sekolahan ku terlihat seperti penjara ketika melihat polisi-polisi itu berkeliaran sepanjang hari. Para siswa-siswi jadi terlihat serba salah untuk melakukan hal dengan bebas, terlebih yang berpacaran tidak bisa secara terang-terangan menikmati malam kembang api di lapangan.

Aku tidak melihat Aries lagi setelah itu. Beberapa jam belakangan ini Aries membuatku tertarik, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri meskipun aku berusaha keras menutupinya dari orang lain, itu sebabnya aku mencarinya dalam edaran padanganku sekarang.

Hans dengan sumringah berjalan menuju ke arahku yang sedang duduk di tempatku sebelumnya di seberang aula. Dia sudah selesai menganti baju astrounotnya dengan celana training, kaos oblong putih dan jaket tebal untuk menghalau udara malam.

"Kau belum pulang?" tanyanya berdiri memandangku seakan-akan aku sahabat dekatnya yang sedang menantikan kehadirannya, nyatanya TIDAK.

Aku menghela napas lalu membuang padanganku ke lain arah, "Konyol sekali... kalau aku sudah pulang kenapa kau masih melihatku dan mengajak aku berbicara sekarang?"

Tiba-tiba saja dia duduk di sampingku lalu bersender ke dinding dengan punggungnya yang di turunkan agak rendah dari tinggi dudukku, sehingga kaki panjangnya menghalangi jalan. "Aku lelah sekali hari ini... untung saja aku juara."

"Betapa anehnya jurinya..." remehku.

"Hmm..." dia mengiyakan. "sangat aneh... lebih anehnya, kenapa aku bisa menjadi anak ibuku..."

Aku mendelik kearahnya, yang juga mendelik kearahku lalu tertawa saat memergokiku. "Ibuku lebih aneh dariku..." Tiba-tiba sekali dia.

"Buah tidak jatuh dari pohonnya..."

Dia mengangguk-angguk... "Aku merindukan ibuku... " dia tampak sedih, kemudian melipat ke dua tangannya dan menutup matanya. "sudah lama sekali..." gumamnya.

"Memangnya ibumu kemana?"

"Aku tidak tahu harus mengatakan bagaimana.... terlalu rumit."

"Apa... maaf, ibumu pergi meninggalkanmu?" Dia mengangguk. "orang tuamu bercerai?" dia menggeleng lalu membuka matanya, melihatku.

"orang tuaku tidak seperti itu... meskipun pada akhirnya aku tahu ibuku tidak begitu mencintai ayahku. Dia masih tetap bertahan sampai akhir hidupnya..." dia menegakkan duduknya, lalu memaksakan tersenyum lebar padaku. "ibuku sudah meninggal..."

Lihat selengkapnya