Hi... Bye (Dystopia)

tavisha
Chapter #15

Morning Destiny

Aku merasakan sensasi yang tidak pernah ku rasakan sebelumnya. Ini terasa begitu nyaman. Sangat nyaman sampai-sampai aku tidak mau melepaskan selimut tebalku dari tubuhku. Aku seakan tidak pernah merasakan kenyamanan seperti hari ini sebelumnya, biasanya selalu saja ada hal yang menganggu~ Suara piring atau gelas pecah, suara teriakan, suara bentakan, suara beda yang di banting atau suara alarm dan ayam tetangga yang selalu membangunkanku. Kali ini aku seperti merasakan di surga... lelahku selama ini seakan terbayar.... 

Tunggu!

Aku terduduk di tempat tidurku, memandangin cahaya matahari yang sudah menyusup masuk ke dalam kamar. Aku memeriksa ponselku yang tadinya berada di atas nakas, memandangi sekeliling kamar. Tidak ada yang aneh.... tapi kenapa aku merasakan suatu penyesalan yang sangat dalam.

Ku tarik kembali selimutku dan menutupi seluruh badan hingga kepalaku bersiap untuk kembali tidur. Benar-benar tidak ada yang salah... tapi mengapa aku merasa sesuatu yang menganjal. Ku pejamkan mataku erat-erat, berusaha untuk berpikir apa yang sedang ku lewatkan di hari minggu manis ini.

Sial!

Aku bergegas turun dari tempat tidur, berlari mengambil handuk dan segera masuk ke kamar mandi. Bagaimana aku bisa menikmati hari mingguku senyaman mungkin, padahal aku sudah berencana membantu teman-temanku di festival hari ini.

Aku tidak peduli cara mandi apa yang sudah ku pakai hingga secepat ini, yang terpenting aku sudah mencuci muka dan menyikat gigiku. Aku tidak begitu berkeringat sepanjang hari kemarin jadi ku harap aku tidak begitu bau jika hanya mandi secepat ini. Kacaunya, aku lupa menyetrika bajuku. Masa bodoh lah, selagi ada jaket aku masih menyembunyikan kekusutannya.

Aku turun ke lantai satu dan menemui ayahku sendang menonton berita pagi, kacamatanya melorot di batang hidungnya yang tinggi.

"Tidak sarapan?" Tanyanya saat menganti channel televisi sesaat aku berjalan di depannya.

"Aku akan makan di sekolah." Ayah hanya mengangguk.

"Hari minggu sekolah?" Sambungnya teringat.

"Ada festival hari ini. Aku ikut membantu disana..." Ia mengangguk lagi dan kembali menatap televisi.

Aku berjalan ke rak sepatu. Dan menemukan sepatu ibuku berada di salah satu sepatu yang tersusun rapi disana. Apa ibu pulang hari ini?

Ya untung saja awal hari ku hari ini tidak seperti biasanya yang harus di mulai dengan perasaan buruk. Kedua orang tuaku sedang baik-baik saja sekarang. Ku harap juga begitu. Aku akan meninggalkan mereka beberapa jam ke depan, ku harap kembalinya aku aku bisa melihat ke dua orang tuaku tengah bercengkeramah hangat di ruang keluarga atau di meja makan.

Aku bergegas memakai sepatuku dan keluar menuju perkarangan rumah. Pekarangan rumah sudah begitu bersih dari dedaunan yang berguguran dari pohon besar tempat dulu ayunanku berada. Di balik pagar beton yang mengelilingi rumah sekarang ayunan itu tinggal kenangan yang tersisa hanya bekasnya saja.

Dulu saat ayunan itu masih ada dan pagar tinggi belum mengelilingi rumah, saat aku bermain aku bisa saja mengajak anak-anak yang sedang melintas di depan rumahku untuk bermain bersama. Pekarangan rumahku dulu layaknya sebuah base camp anak kecil di lingkungan sini. Aku bahkan sering berkemah dengan anak-anak di sekitar sini setiap malam minggu, di temani ayah kandungku yang selalu mendongengkan kami kisah-kisah polisi-polisi yang gagah perkasa mengejar penjahat. Sekarang semuanya tinggal kenangan. Pagar rumah yang tertutup rapat mengelilingi rumah tidak hanya membuat pembatas ke tetangga, tapi seakan-akan pula ingin menutupi aib-aib di dalamnya.

Lihat selengkapnya