Wajar saja jika aku masih merasakan gerah meskipun di kamar Aries aku merasakan sulur-sulur angin dari AC nya. Ternyata alam sudah mengodeku sedari tadi kalau sebentar lagi akan turun hujan.
Dari Jauh aku melihat kilatan kecil di balik bukit tidak jauh dari panti yang menandakan aku harus cepat pulang.
Sebelum pulang aku mampir dulu ke asrama panti untuk berpamitan dengan Nana sebagai bentuk sopan santun. Namun sayangnya aku tidak bertemu dengan Nana, menurut informasi dari anak-anak, Nana pergi ke super market untuk membeli kebutuhan dapur dan mengiraku sudah pulang sedari tadi sore.
Sekeluarnya aku dari asrama, angin bertiup sangat kencang. Aku memutuskan untuk segera pergi sebelum aku terjebak hujan di tengah jalan. Lagi pula jika aku memotong jalur aku bisa pulang ke rumah lebih cepat namun risikonya aku harus melewati jalanan yang minim penerangan.
Aku berjalan cepat mencari kesempatan untuk bisa pergi sebelum hujan mendahuluiku.
Sial! Sepertinya hujan tidak mau memberikan ku kesempatan pulang dengan ke adaan kering. Aku lebih memilih pulang dengan jalanan yang mimim peneranggan daripada harus pulang dengan keadaan basah kuyup, itu benar-benar tidak enak. Dengan jalan yang mimim penerangan, jika aku takut aku bisa sana berteriak jika aku ketakutan untuk meminta tolong, tapi dengan keadaan basah kuyup kau harus mendapatkan ketidak nyamanan berkali-kali lipat dan jika saja tubuhku kuat, mungkin aku hanya kedinginan sejenak, jika tidak aku pasti pulang mendapatkan flu.
Tidak ada pilihan lain, terpaksa aku harus berhenti di halte yang tidak begitu jauh dari panti. Semoga saja hujan tidak terlalu lama bermain di malam ini.
Sambil menunggu hujan redah, aku memainkan permain tetris di ponselku. Namun belum beberapa menit aku memainkannya, ku dengar suara kaki berlari mendekat ke arahku.
Mendengar langkah itu semakin dekat aku semakin gugup. Tanganku berhenti memencet tombol untuk mengubah bentuk balok tetris sesuai dengan balok lainnya hingga tumpukan tak berarturan memenuhi layar ponselku.
Warna-warna dari orang yang berlari mendekat perlahan mulai berubah dari gelap menjadi terang dengan cahaya hidup menenangkan ketakutanku, namun entah kenapa aku begitu menjadi salah tingkah untuk mengahadapi warna-warna itu semaki dekat dengan kehidupanku.
Warna itu semakin dekat dengan kepadatan waktu yang mengalir pada hidupku, sesaat itu seperti slow motion pada kilatan petir yang menerangi belakang bukit.
Daun yang berterbangan karena angin mulai berjatuhan di dekatku. Semakin mendekat aku semaki bertanya-bertanya pada diriku, bolehkah aku berbohong untuk saat ini pada perasaanku.
Aku menelan liurku.
Wajahnya terlihat salah tingkah saat melihat kearahku. Ia menurunkan payungnya dan menepikan ke sisi halte yang lebih kering.
"Oh, kau belum pulang?" Tanyanya hati-hati, dia tidak begitu melihatku saat dia bertanya.
Aku memandang wajahnya untuk memastikan apakah orang yang ada di hadapan adalah Aries.
"Kau kenapa keluar? Kau belum sembuh betul."
Dia bergumam sesaat, "Aku tidak tahu kalau bakalan turun hujan sederas ini," katanya sambil menaikkan tangannya, menampung air yang berjatuhan dari atap halte. "Apa kau mau sekalian? Aku mau mampir ke toko roti." tawarnya menoleh ke arahku, menawarkan diri yang membuatku bertanya sekali lagi, apaku aku benar-benar sedang terbangun atau sedang berkhayal?
"Oh, kau mau ke mau roti? Aku bisa membelikanmu. Nanti aku bisa menyuruh penjualnya mengantar ke panti."
"Tidak perlu, lagipula uangku hanya cukup untuk beli rotinya saja tidak ada lebih untuk pengantaran," Dia mencoba tersenyum.
"Aku bisa meneraktirmu. Kau tidak perlu keluar dengan kondisimu seperti itu." aku benar-benar menghawatirkannya.
Aries melirik jam tangannya, lalu mengambil payungnya lagi, "Kau tidak mau ikut? Sebentar lagi tokonya mau tutup."
Aku tidak mengerti kenapa kali ini aku menjadi serba salah dengan tawaran Aries yang tidak biasanya.
"Apa kau yakin?"
"Kau mengkhawatirkan ku?" dia tertawa remeh.
Aku tidak menyembunyikan hal itu, "Iya." jawabku.