Hi... Bye (Dystopia)

tavisha
Chapter #31

Let me

Aku kembali ke lantai satu, tidak ada yang bisa ku lakukan sekarang selain kembali ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Sesampai di dapur semua bahan sudah tersedia. Aku binggung harus mengerjakan bagaian apa. Biasanya selalu saja ada kegiatan yang harus ku kerjakan, tapi mendadak aku tidak menemukan celah dimana aku harus membantu.

Pikiranku terlalu kacau untuk mencari tahu kegiatan apa yang harus kerjakan di dapur ini, aku yakin pasti ada yang harus ku lakukan. Namun sepanjang perjalananku menuju kemari, otakku selalu memikirkan Aries. Entah kenapa aku menjadi gudah setiap membahas cinta pertamaku dengannya, membahas Marco. Aku selalu membahas Marco dengannya, mengatakan bahwa perasaanku tertuju padanya. Namun bagaimana aku bisa menyembunyikan perasaanku saat aku berhadapan langsung dengan Aries, aku seperti menghianati hati ku sendiri. Aku hanya takut jika pada akhirnya aku mengecewakan diriku sendiri ketika aku bertemu kembali dengan Marco.

Marco, aku ingin dia yang ada di hatiku. Tapi beberapa hari belakangan ini aku menjadi kacau karena diam-diam memikirkan Aries. Aku bersusah payah menepis kenyataan ini. Bagaimana jadinya jika beberapa hari terakhir ini aku tidak mengingat cinta pertamaku, apa aku akan benar-benar jatuh cinta dengan Aries karena senyumnya waktu itu?

Entah kenapa aku jadi merasa bersalah setiap berhadapan dengan Aries, padahal aku sangat membeci sikapnya yang dingin dan masa lalunya sebagai penindas. Meskipun hanya kecemburuan seorang sepupu, bagaimana pun sampai sekarang dia masih terlihat sebagai seorang yang suka menindas dengan posisinya sebagai Penegak Kedisiplinan di sekolah. Aku benar-benar membencinya, sangat-sangat membencinya.

Sepertinya aku benar-benar terkena Stockholm syndrome. Jika aku benar-benar menyukai musuhku dan bersimpati padanya, kupikir aku sudah gila. Ya, kurasa obatnya hanya satu... Aku harus menemui cinta pertamaku atau... aku harus menemukan seseorang yang membuatku bisa menyukainya daripada musuhku sendiri.

***

Makan siang hari ini seperti biasa, aku tidak pernah menemukan Aries ikut bersama untuk duduk bersama bercerita sambil makan siang. Selain dia menghabiskan waktu makan siangnya di sekolah, selebihnya sewaktu liburan aku tidak pernah tahu apakah dia pernah duduk bersama dengan anak-anak disini.

Melihat sikapnya saja aku tahu, Aries tidak jauh berbeda denganku yang introvert, menghabiskan waktu bersama orang yang tidak sefrekuensi dengan denganmu hanya akan membuang energi. Hanya duduk di tengah banyak orang akan itu akan membuatmu sangat lelah. Mungkin level introvert Aries berada di paling atas dariku, meskipun aku tidak begitu suka di tengah keramaian, namun di tengah anak-anak asrama panti aku masih bisa mengatasinya. Bukankah Aries sudah banyak menghabiskan waktunya tinggal disini dibandingkan aku yang hanya datang di jam tertentu.

Aku semakin penasaran dengan Aries, sangat-sangat penasaran, rasa penasaranku menjadi-jadi saat mengetahui Aries merupakan warga panti ini. Jujur saja aku masih penasaran dengan kehidupan Aries di lantai dua Aula. Aku penasaran dengan siapa-siapa saja dia berteman. Aku sangat penasaran dengan isi di dalam kepalanya. Aku penasaran bagaimana dia bisa hidup seperti itu sendirian. Aku juga introvert, aku menyukai kesunyian tapi aku benci sendirian.

Bagaimanapun aku ingin bercerita dengan seseorang, tertawa dengan orang lain bukan hanya melaui media buku atau film yang ku baca, aku ingin menangis mencurahkan segala keluh kesahku pada seseorang yang bisa mendengar, bukan hanya saat aku berdoa dan mendengar musik saja. Itu sebabnya aku masih berteman dengan Karina. Aku bersyukur dia mau bertahan dan memahami sifatku yang naik turun.

Tidak banyak yang bisa memahami sifat anak introvert sepertiku, kebanyakan dari mereka hanya bisa menghakimi. Mereka bertanya-tanya kenapa kami diam? apa kami tidak suka berteman? Kenapa kami ketus, dingin, sombong?

Aku benar membeci mereka yang selalu menanyakan hal-hal seperti itu. Karena begitulah aku... aku tidak pernah menanyakan pada mereka, kenapa kau begitu berisik dan ingin tahu tentang kehidupanku... kenapa kau tidak memahami bahwa semua orang berbeda?

Namun sekarang, aku ingin menyalahkan diriku sendiri yang sekarang seperti bercermin pada orang-orang yang dulu ingin tahu tentang diriku. Sekarang semua itu mengarah padaku... Seiring berjalannya waktu, aku ingin mengetahui tentang kehidupan Aries, mungkin akan sama halnya dengan dirku dulu Aries pasti akan merasa risih dengan orang asing seperti ku yang perlahan-lahan ingin tengelam dengan kehidupannya. Aku tidak tahu apakah Aries mengijinkanaku masuk di kehidupannya atau dia hanya bersikap rendah hati saja karena aku, secara tidak langsung merupakan warga panti juga.

Aku membandingkan dirku dengan Aries. Seperti saat ini, aku bertanya-tanya, apakah Aries pernah suatu hari meninginkan duduk bersama seseorang untuk makan siang bersama? Entah siapa itu, keluarga, sahabat, pacar mungkin, atau mungkin orang asing sekali pun. Aku sering memikirkan itu.

***

Jam sudah menunjukan pukul tiga sore, aku merenggangkan persendianku dan berbaring di sofa ruang tengah sambil menonton kartun yang sedang di tonton anak-anak dari tadi. Aku tidak lagi bisa merasakan pinggangku karena sedari tadi sibuk membersihkan peralatan makan untuk persiapan acara hari sabtu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana capeknya ibu-ibu tukang masak yang menyiapkan makan sendiri tanpa bantu catering. Betapa lelahnya itu.

Mataku baru saja ingin terpejam. Samar-samar aku mendengar anak-anak berteriak dari arah samping halaman asrama. Aku mendengar teraiakn histeris yang terasa seperti mimpi. Namun itu rasanya memang seperti mimpi. Tiba-tiba saja aku kembali ke beberapa tahun lalu. Aku berdiri di bukit belakang panti asuhan memandangi rumah mewah yang berada di bawah sana... sekujur tubuhku menjadi merinding. Aku tidak melihat kejadi beberapa tahun yang mengerikan, tapi aku melihat pelaku pembunuhan berpakaian hitam berdiri di depan pagar yang berada di belakang rumah mewah itu. Di satu sisi aku melihat seseorang yang wajahnya dengan cepat terlupakan berdiri di depan jendela besar sedang menghadapku. Aku tidak bisa memastikan apakah dia seorang perempuan atau tidak, namun aku bisa memastikan bahwa orang itu sedang menatapku dengan sangat tajam. Semakin lama... orang itu semakin mendekat ke arahku. Sampai-sampai aku tidak menyadari dia sudah berada di depanku.

Aku melihat matanya yang memerah marah. Tangannya terangkat, sebuah pisau yang sangat tajam tergengam dan mengarah padaku. Sesaat pisau itu tertancap di jantungku. "Kenapa kau membiarkan orang tuaku terbunuh..." suara dingin itu membisik ke kupingku.

Lihat selengkapnya