Karena Aries menawarkan untuk mengajakku ke rumah sakit menemui anak-anak yang sedang di rawat, aku ikut saja.
Seperti biasanya, tidak ada percakapan yang istimewa selama perjalanan. Hanya siaran dari radio mobil yang mewarnai perjalanan kami ke rumah sakit. Kami benar-benar tidak ada percakapan sama sekali, TIDAK ADA SAMA SEKALI. Sesampainya kami di ruangan rawat inap pun Aries malah memisahkan diri hanya untuk makan jeruk di depan jendela tanpa simpati dengan anak-anak panti yang tengah menjalani rawat inap.
Nana dengan antusias menyambutku, dia bahkan memelukku berkali-kali lalu mengajakku duduk. Ia tidak habis-habisnya menyampaikan perasaannya yang begitu besar karena menghawatirkan kami. Nana sangat menyesal karena membiarkanku ikut serta dalam penyelamatan, dia tidak habis-habisnya menyesal dan meminta maaf padaku. Itu bukan berarti dia tidak percaya padaku yang merupakan salah satu tim penyelamat, namun itu karena dia melihatk sosokku sebagai salah satu anaknya. Wajar saja jika dia sangat menghawatirkan.
Tidak seperti Aries, kurasa dia lebih menginginkan aku tenggelam di danau itu daripada harus terlihat simpati dengan anak-anak panti. siapa yang tahu jalan pikiran Aries. Aku harus lebih berhati-hati dengan anak ini.
Aku bersin-bersin lagi.
Kuputuskan tidak berlama-lama di rumah sakit daripada harus ikut-ikutan di rawat.
Saat aku tidak melihat keberadaan Aries, aku memilih untuk diam-diam pulang. Masih ada angkutan umum, meskipun tidak akan akan mengantarku sampai ke depan rumah, itu tidak masalah daripada aku harus pulang dengannya. Rasanya benar-benar menyiksa. Aku tidak akan bisa tenang sepanjang perjalanan. Itu menyebalkan.
Ada satu bus yang mampir di halte di depan rumah sakit, jurusannya tidak langsung mengantarku sampai ke daerah rumahku, perjalanan akan lebih panjang dan membutuhkan waktu lebih lama, di tambah jarak halte ke rumahku ada sekitar lima ratus meter. Aku menikmati perjalanan dengan angkutan umum jadi waktu dan jarak tidak begitu bermasalah. Yang bermasalah jika aku harus menggunakan sedikit waktuku bersama Aries. Untungnya halte terakhir adalah halte di daerah rumahku.
Saat aku naik, penumpang masih terhitung sedikit jadi supir bus meminta tambahan waktu untuk menunggu sedikit penumpang lagi sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan.
Badanku benar-benar pegal sekali dan mataku terasa sangat berat, sepertinya aku akan terserang flu berat hari ini. Daripada memaksakan diri, lebih baik kugunakan waktuku untuk beristirahat sejenak, toh perjalanan akan sangat panjang dan aku yakin pak supir tidak akan benar-benar membiarkan aku tertidur sampai terminal bus.
***
"Kenapa kau hanya melihatnya?!" Aku hanya melihat shiluetenya di balik kegelapan, tangannya mencekik leherku.
Dadaku hampir kehabisan udara karena jalur oksigen masuk di blokir oleh tangan shiluete kemarahan yang berada di atasku.
"Kenapa kau membiarkanya mati!" suara itu meringis ngeri dan semakin kuat mencekikku. "Dia tidak seharusnya mati, kau yang seharusnya mati!"
Ku tidak bisa bergerak sama sekali, lama kelamaan aku seperti ditengelamkan ke dalam bak air yang penuh dengan darah. Tanganku hanya bisa mengepak-ngepak ke permukaan untuk minta pertolongan.
Apakah seseorang sedang berusaha untuk membunuhku?
Aku tidak tahu siapa yang menaruh kebencian begitu besar kepadaku sampai-sampai ingin membunuhku. Aku tidak tahu siapa dia, aku hanya bisa melihat matanya yang penuh amarah perlahan melihat ku perlahan-lahan mati di tangannya.
Namun, matanya mengingatkanku pada satu mata seseorang yang sudah lama ingin ku lupakan. Mata itu...
"Hei... Hei!" aku merasakan sentuhan hangat menepuk pelan di pipiku. Mataku terasa berat, dan leherku terasa cukup kaku, namun kepalaku terasa begitu nyaman.
Dadaku terasa begitu sesak, ada perasaan yang masih menganjal disana.