Hi... Bye (Dystopia)

tavisha
Chapter #37

Reminiscent

Semua orang sekarang sedang berfokus dengan acara, memeriksa kenangan dari masa lalu mereka yang tersimpan di kapsul waktu, yang barusan saja di gali setelah sepuluh tahun terpendam.

 Awalnya aku ingin melihat bagaimana eforianya orang-orang yang berpartisipasi dalam menyimpan benda-benda mereka dari sepuluh tahun lalu. Tentu saja menarik sekali, namun sayangnya aku sudah kehilangan selera untuk sekedar menonton mereka mengenang sejarah yang mereka simpan di masa sepuluh tahun lalu. Sekarang yang ada aku hanya mendengar suara-suara mereka dari dapur.

 Sangking tidak ada semangat lagi untuk meramaikan acara itu, sekedar untuk beramah-tamah aku justru berakhir disini, di dapur~ menyuci piring, menanta bahan-bahan makanan, menyapu, mengelap, apapun yang bisa ku kerjakan untuk membunuh rasa kesalku selagi aku tidak keluar dari dapur.

 Seperti naik roller coaster, perasaanku campur aduk setiap bertemu dengan Aries. Padahal bertemu dan mempercayai Aries lagi tidak tercatat dalam rencanaku hari ini. Yang ingin kulakukan hanya ikut merasakan eforia, makan-makan dan membantu bagian dapur. Bodohnya, aku sudah tahu bagaimana sifat Aries masih percaya saja dengan rencannya yang selalu berakhir mempermainkanku.

 Aku tidak tahu perasaan apa yang sedang menyelubungi jiwaku, perasaanku benar-benar tidak enak dari tadi semenjak melihat Aries dan Mio. Aku tidak tahu perasaan apa yang sedang mengelitikku sekarang ini, kesal, cemas, khwatir, takut... entahlah, yang bisa ku simpulkan aku hanya ingin kabur dari dunia ini.

 Pekerjaan di dapur sebenarnya tidak begitu banyak, aku bahkan mengulang pekerjaan yang sebelumnya sudah selesai sampai saat pintu penghubung dapur ruangan makan itu terbuka dan menampakan sosok Aries, orang yang paling tidak ingin ku lihat sekarang.

 "Kenapa kau disini?" Aries menutup pintu dapur perlahan.

 Aku cuek dan hanya mengelap meja yang sebenarnya sudah bersih.

 "Bukankah aku memintamu menunggu di ruang tengah?" Katanya dengan suara pelan.

 Aku menghela napas dan menatap Aries dengan tajam, "Bisa kah tidak menggangguku bekerja."

 "kau bukan penggurus disini, kenapa kau bersikeras bekerja di saat yang lain tidak bekerja?"

 Aku menaruh lap dengan membantingnya pelan, "Apa urusanmu." Kembali mengelap meja.

 "Kau marah?"

 Aku hanya diam.

 Aries menarik bahuku pelan untuk mengahdapnya, "Kenapa kau pergi duluan? Aku sudah memintamu menunggu di ruang tengah... apa segini saja keinginanmu?"

 Aku menatap Aries dengan dongkol, lalu menyeringai kesal.

 "Huh! Kau benar-benar mengundangnya? Kau benar-benar menepati janjimu... kau memperlihatkanku padanya. Akhirnya ya...." Aku melepaskan bahuku dari pengangannya. "Apa kau pikir ini lelucon? Kau benar-benar menyuruhku untuk menunggu disana?!" Aries diam saja. "Apa kau pikir selama ini aku suka padamu, sampai-sampai kau harus menunjukan cinta pertamamu agar aku tahu diri, dan menyingkir darimu? Apa segini saja caramu buat mengusir dan mempermainkanku?" Aku tertawa pelan. "Pertemuanku dengan Marco sebenarnya memang tidak pernah ada kan?" Aku mengembungkan pipiku dan mengelurkan napasku secara perlahan, mencoba menahan emosiku. " Jika itu memang iya, sebenarnya aku bersyukur.... Sampai detik itu, aku percaya bahwa aku benar-benar jatuh cinta padamu, Aku bahkan bertaruh pada diriku sendiri, tidak masalah jika itu kau... tapi yang terjadi, kau membuat aku lebih membenci diriku sendiri. Bagaimana bisa sejenak berpikir kau adalah orang yang ku tunggu selama ini? Sudah pasti aku hanya permainanmu membawaku sejauh ini... bodohnya aku yang masih percaya padamu." Aku menunduk sejenak mengontrol napasku yang terasa semakin berat. "Kau membuatku binggung dan takut secara bersamaan," Aku bersyukur amarahku tidak sampai membuatku menangis, aku terlalu malu sekarang. " Kurasa tebakanmu benar, aku sempat suka padamu... itu karena aku terlalu terbawa suasana. Meskipun begitu, aku masih berharap bisa bertemu dengan cinta pertamaku juga, meski bagimu itu konyol sekali." Aku menegakkan kepalaku, "Kau tidak perlu khawatir aku terlibat denganmu lebih jauh, aku pastikan itu tidak akan terjadi. Apa kau benar-benar puas sekarang? Selamat rencanamu berhasil. Aku tidak akan cari perhatian lagi padamu, seperti yang selama ini kau pikirkan. Aku pergi." Kataku pergi tanpa melihatnya lagi.

 Aku keluar dari pintu bagian belakang.

 Kurasa Aries benar-benar menang telak. Aku bisa membayangkan dia menyeringai di dalam sana, seperti dia tertawa-tawa melihat Marco yang saat itu terjatuh karena ulahnya dulu. Bagaimana aku bisa berpikir dia akan membantu orang yang paling di bencinya meskipun mereka masih berhubungan keluarga.

 Pulang, itulah yang ada di pikiranku. Tapi, Nana keburu melihatku dan menyuruhku bergabung untuk menikmati acara. Dengan ragu aku memasang wajah ceria seperti tidak terjadi apa-apa dan menghampiri Nana yang sedang berkumpul dengan pada orang-orang dewasa yang belum pernah sama sekali aku lihat.

 Nana memperkenalkanku sebagai anak yang paling baik hati, yang tidak putus-putusnya membantu panti semenjak aku berpartisipasi menjadi relawan beberapa tahun lalu. Nana juga memberi tahu kepada mereka kalau aku yang menyelamatkan salah satu anak asrama yang tenggelam kemarin. Mereka yang tidak bukan adalah anak panti dulunya, tidak henti-hentinya memuji. Aku tidak tahu harus berbangga atau sombong, tapi kurasa hati dan pikiranku sedang mati saat ini. Aku tidak tahu dari mana sumbernya syaraf-syaraf ini membuat wajahku terlihat seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

 Untunglah, mereka tidak lama di sekitarku. Mereka memutuskan untuk bergabung dengan saudara-saudara perjuangan yang pernah hidup bersama di panti ini. Sekarang aku kembali sendiri, mungkin ini kesempatanku untuk pulang.

 Hans?

 Ku pikir juga itu dia. Sekilas orang itu mirip sekali dengan Hans. Dia menggunakan jaket berwarna putih sehingga membuatku tertarik melihat kearahnya, karena di antara pengunjung yang datang dia terlihat sangat santai dengan pakaiannya.

 Badannya yang tinggi, senyumnya, matanya, bentuk wajahnya dan postur tubuhnya, semakin ku lihat dia bukan Hans. Laki-laki itu berkacamata, aku belum pernah melihat Hans memakai kacamata ~ tidak, sekali sebelum dia merusak kacamataku~ Tangannya di gendong dan terg-gips, kurasa bukan karena terkilir, aku sangat yakin tulang tangannya retak. Laki-laki itu bahkan tampak konyol mengambil makanan menggunakan tangan kirinya. Dia benar-benar berusaha menggunakan tangan kiri yang kurasa tidak pernah dicoba sebelumnya.

 Sekilas dia benar-benar familiar, mungkin karena sekilas mirip Hans. Oh! dia melihatku!

 Kami bertukar pandang, tidak lama kemudian dia tersenyum ramah. Mungkin merasa tidak sengaja saling bertukar pandang. Tapi kenapa dia malah berjalan kearahku?

 Kenapa dia berjalan kearahku? Aku benar-benar panik sekarang...

 "Hei!" Sapanya.

 Tiba-tiba saja aku menjadi luluh. Aku tidak pernah memikirkan sosok laki-laki seperti ini sepanjang hidupku.

 Apa aku pernah bilang Hans jelek? Sebenarnya Hans di atas rata-rata, terlebih dia tumbuh di kota besar, membuatnya seperti tidak cocok berbaur dengan kami disini. Jika Hans saja seperti itu, orang yang sekilas mirip dengan Hans justru lebih dari itu, ini terkesan mendiskriminasi jika aku berada di sekitarnya terutama dengan tinggi badannya. Apa karena mereka berbeda cuaca dengan kami atau mungkin karena mereka pintar merawat diri.

 "Oh Hai!" kataku ragu setelah memastikan dia benar-benar menyapaku.

 "Kau terlihat familiar..." Seharusnya itu yang ku katakan padanya. Atau dia sedang mengodaku?

 "Ya kau juga."

Lihat selengkapnya