Mungkin hari akan hujan, aku berharap seperti itu.
Aku duduk di belakang rumah, duduk di atas bangku sambil memeluk ke dua lututku, memandangi langit dan mengharapkan hujan akan turun.
Langit tidak menunjukan wajah kelam, tapi bolehkah aku berharap dia menangis apapun alasannya. Andai aku bisa memaksa kehendak alam sesuka hatikku. Aku ingin membuatnya menghapus setiap jejak kepedihan yang ada di dunia ini.
Sekarang hanya kehangatan dari matahari yang melebihi seperti amarah yang mengontrolku perasaanku.
Siang hari yang tenang. Angin sepoi-sepoi membelai setiap perasaanku yang berantakan, seakan-akan dia datang tidak untuk menyapu bersih salah satu disana, hanya datang untuk merapikan perasaanku yang tidak jelas, apa sedang sedih, marah, atau kesal.
Di rumah sunyi yang penghuninya sedang berjuang melawan kenyataan ini, terdengar suara samar dari lantai atas di kamar paling sudut. Jika baru masuk pertama kali ke rumah ini kau tidak perlu aneh. Karena satu-satunya cara menghidupkan rumah yang sudah lama mati ini hanya dengan menyalakan radio dan mendengarkan percakapan dari beberapa orang yang saling terhubung dengan medan-medan yang terkadang sangat sulit di jangkau dengan sinyal telepon pada umumnya.
Nenekku bilang, rumah ini hampir seperti rumah duka. Walau tidak pernah menemukan kematian disini, tapi hampir setiap hari di rumah ini yang selalu awal mendapat berita duka. Aku tidak tahu kenapa ayah menyiapkan sebuah frekuensi yang di khususkan untuk menerima kabar-kabar seperti itu. Kabar duka siapa sebenarnya yang ingin dia dengarkan, meskipun dia bisa saja menyampai informasi duka pada frekuensi yang biasanya ia gunakan. Hari ini aku tidak mendengarkan berita duka tapi entah mengapa hatiku mengharap seperti itu.
Tidak ada pernah berita duka yang di tunjukkan pada keluargaku. Kematian ayah kandungku di laut tidak pernah di kabarkan menjadi sebuah berita seperti itu. Sampai saat ini yang aku terima hanya berita kehilangan. Meskipun ibuku sudah menikah lagi, sampai saat ini dia tidak pernah menerima kenyataan bahwa ayah kandungku benar-benar sudah meninggal. Beda halnya dengan keluarga besar ayahku dan juga kerabat-kerabatnya yang sudah menerima dengan lapang dada kalau ayahku telah di nyatakan meninggal beberapa tahun lalu.
Aku mendengar suara mobil melaju dan menderit berhenti berhenti tepat di depan rumah. Meskipun tidak melihat, secara alami kita bisa mengetahui bahwa kendaraan itu adalah kendaraan salah satu milik keluarga atau kerabat kita. Aku tidak tahu kenapa itu bisa terjadi, padahal semua jenis mobil dan dengan mereka yang sama mempunyai suara mesin yang sama. Ya mungkin hampir setiap suara mobil. Tapi entah kenapa kita bisa membedakannya bahwa itu adalah milik dari seseorang yang kita kenal.
Mendadak aku menjadi profiler suara yang bisa mengenal suara-suara dari berbagai hal saat mengharapkan seseorang. Aku mengharapkan kehadiran salah satu keluargaku sekarang. Dan seperti itulah terjadi, setelah mengetahui bahwa ayah sambungku yang datang bersama nenek, mendadak aku menjadi tenang.
Aku menoleh ke arah pintu yang menghubungkan belakang rumah dan dapur dengan penuh harap.
“Kau tidak apa-apa?” itu kalimat pertama yang keluar dari mulut ayahku saat mendapati aku sedang menikmati kekacauan diriku di belakang rumah.