Hi... Bye (Dystopia)

tavisha
Chapter #44

The day before us

Aku menyadari saat ayah masuk ke kamar dan duduk di samping tempat tidur tanpa membangunkanku atau berbicara sedikitpun. Aku hanya mengintip dari mataku yang masih tertutup. Dia hanya duduk dan menatap meja belajarku dengan pandangan kosong.

 Entah kata-kata apa yang dia persiapkan untuk disampaikan padaku. Dia hanya menatap meja belajar dan masih duduk membelakangiku yang masih dalam posisi tertidur. Pukul berapa sekarang aku pun tidak tahu. Kamar sudah sangat gelap, hanya ada cahaya dari lampu luar yang menerangi masuk dari jendela kamar yang belum ku tutup.

 Aku menunggu hingga berapa lama, namun ayah hanya duduk dan kemudian pergi tanpa membangunkanku atau menatapku lagi. Dia menutup pintuku dengan pelan, seperti saat dia masuk. Saat sudah memastikan dengan benar ayah menjauh dari kamar, dan mendengar suaranya berbicara dengan kakek, aku baru membuka mataku dengan lebar kemudian duduk di tempat tidurku.

 Sepertinya bukan kabar baik yang dia bawa, dan aku harus menerima itu, mungkin sudah tidak ada keajaiban lagi untuk menemukan keberadaan ayah kandungku. Harusnya aku sudah siap dari hari dimana dia menghilang dan di putuskan sudah meninggal, namun setelah hari ini perasaan tidak siap itu selalu saja menghampiri. Kenyataan-kenyataan yang masih belum bisa ku terima sampai saat ini. Apa kami akan baik-baik saja, dan sampai kapan kami tidak baik-baik saja seperti hari ini.

 Umurku sebelas tahun waktu itu, sudah hampir enam tahun semenjak saat insiden menghilangnya ayah. Penyesalan-penyesalan selalu datang mengampiri, aku tidak banyak menghabiskan waktu bersama ayahku saat itu. Aku tidak pernah memikirkan sebelumnya jika hari itu akan tiba, dan aku tidak memiliki banyak waktu dengannya. Hari dimana dia menghilang aku justru tidak meninggalkan banyak kesan padanya, sebelum ayah berangkat kerja aku sama sekali tidak mempunyai firasat buruk tentangnya, hari itu aku justru memilih untuk pergi bermain daripada menghabiskan waktu-waktu terakhirku bersamanya sebelum dia pergi bekerja. Andai saja aku tahu itu adalah hari terakhir kami, mungkin aku akan menghabiskan banyak waktu dengannya.

 Waktu berjalan begitu cepat, setelah hampir enam tahun kabar itu muncul lagi ke permukaan. Entahlah, apa tujuan tuhan memberikan harapan-harapan ini pada kami. Apa mungkin tuhan menyuruhku untuk bersiap, agar bisa ikhlas membiarkan ayah tenang sekarang. Mungkin itu satu-satunya cara agar aku tahu caranya untuk melepasnya. Hampir enam tahun berlalu, tidak ada barang bukti dari peninggalan terakhir ayah yang di temukan, dan baru hari ini barang bukti itu muncul dan sangat jauh dari lokasi dimana dia dinyatakan menghilang.

 Aku beranjak dari tempat tidur dan segera pergi mandi. Aku menghabiskan waktu lebih banyak untuk melamun. Sesekali aku menangis memikirkan ayah kandungku. Apa aku harus tetap mencarinya atau mengikhlaskan kepergiannya meskipun aku tidak akan bisa mengunjungi makam sebenarnya ada dimana.

 Selesai mandi mataku menjadi bengkak. Aku juga tidak ingin tidur lagi alih-alih menyembunyikan keresahanku, dan tidak ingin juga menampakkan pada keluargaku sehingga akan membuat mereka khawatir. Berada di kamar juga akan membuatku akan lebih memikirkan hal itu berulang-ulang. Akhirnya ku putuskan untuk keluar mencari kesibukan lain daripada terpikirkan ayah terus menerus.

 "Tidak ikut makan?" Panggil Nenek saat menyiapkan cemilan malam yang baru saja keluar dari oven.

 "Tidak, aku akan keluar sebentar." Kataku buru-buru, tersenyum, menyembunyikan masalah yang sedang ku pikirkan.

 "Jangan pulang dari jam sembilan ya, lagi pula hp mu belum selesai di perbaiki kan?" Sahut ayah, yang sedang main PS bersama kakek.

 "Sudah, kami sudah ambilkan di tempat service tadi."

 Ayah menoleh heran ke ayahnya, "Bagaimana kalian tahu tempat servicenya."

 Kakek sesaat ragu-ragu untuk menjawab, lalu akhirnya nenek berbicara dengan jujur. "Aku menemukan nota di lemari, apalagi kalian bilang kalau hpnya rusak... aku berniat untuk membelikannya ~ kau ini, kenapa tidak beli saja sih." Protes Nenek. "Karena kebetulan pas kami cek ternyata sudah selesai, jadi tidak jadi beli. Toh, kau pasti akan marah-marah kan..."

 Ayah diam saja,

 "Kalau begitu aku pergi dulu..." Pamitku.

 Hari ini benar-benar tidak hujan, padahal aku ingin sekali hujan. Aku ingin sekali merasakan kelembapan, dan melihat hujan turun dari langit secara langsung.

 Ku buka pintu pagar. Sama seperti biasa, jalanan selalu sunyi dan toko roti selalu jadi tempat paling ramai di sepanjang jalan ini.

 Aku tidak terpikir mau kemana sekarang, setidaknya aku tidak ingin bertemu dengan seseorang yang mengenalku. Tapi... Meskipun secara tidak langsung aku mengenali orang, kebanyakan orang-orang akan dengan cepat mengenalku.

Lihat selengkapnya