Hi... Bye (Dystopia)

tavisha
Chapter #48

Jejak yang samar

Sore itu, awan gelap menggantung di langit, seakan meramalkan hujan yang akan datang lagi. Meskipun begitu, aku memutuskan untuk tidak pergi ke panti asuhan seperti biasanya apapun cuacanya. Hari ini, aku lebih memilih pergi ke kolam renang, ingin berlatih untuk menghilangkan kekakuan tubuhku yang semakin terasa akibat jarang bergerak. Pikiranku melayang, teringat ponsel yang diberikan Aries, yang sampai saat ini masih tergeletak di dalam tas, tidak pernah aku gunakan.

Setelah selesai berlatih, aku pulang dengan perasaan lebih ringan. Di tengah perjalanan, tanpa sengaja, aku melihat Aries yang baru saja keluar dari toko buku. Hatiku bergetar. Seakan merasakan kehadirannya, aku segera pura-pura tidak melihatnya. Dia pun sepertinya tidak berniat menyapaku. Namun, aku bisa merasakan kehadirannya berjalan di belakangku, menuntun sepedanya, seakan-akan dia sedang menjaga jarak namun tetap mengawasi.

Saat tiba di persimpangan, kami harus berpisah arah. Dengan wajah datar, Aries menaiki sepedanya tanpa melirikku, dan aku merasakan perasaan campur aduk saat melihatnya pergi. Ada rasa rindu yang mendalam, tetapi juga seberkas kesedihan saat kami tidak lagi saling menyapa.

Hari-hari selanjutnya berlalu dengan cara yang sama. Marco, sepupu Aries, semakin sering menghampiriku di jam istirahat, baik di kantin maupun di kelas. Kepopulerannya di sekolah makin menaikan ratingnya sebagai anak baru, apalagi pasca dia melepas gipsnya dan ikut bergabung dengan Hans di klub basket, sepertinya banyak anak yang semakin mengilainya. Di sisi lain, Aries masih terlihat bersama Mio, membuat jarak di antara kami semakin terasa. Kami jarang bertegur sapa walaupun dengan cara dia selalu mencari kesalahanku, dan semua itu membuatku merasa seperti ada sesuatu yang hilang.

Setiap kali aku pergi ke panti asuhan, aku masih bisa mendengar lantunan piano yang Aries mainkan menjelang senja. Musik itu menenangkan, tetapi semakin hari, kehadiran kami satu sama lain semakin meredup. Entah mengapa, sepertinya ada jarak yang semakin melebar di antara kami. Mungkin karena aku tidak menggunakan ponsel dan nomor yang dia berikan, atau mungkin karena kehadiran Marco dan Mio yang menyita perhatian kami masing-masing.

Selama dua minggu setelah pertemuan kami di hari pertama masuk sekolah kembali, aku merasa kami semakin menjauh. Aries tidak lagi mencariku atau menuntut roti serikaya yang pernah aku janjikan. Di hari-hari pertama, dia memang menagihku dengan cara yang biasa, tetapi setelah itu, kami tidak pernah bertemu secara langsung lagi dan roti serikaya itu pun berakhir begitu saja. Semua ini membuatku bingung, di satu sisi aku merindukannya, tetapi di sisi lain, aku merasa cemas dengan kehadiran Mio yang tampaknya sangat dekat dengannya.

Dalam keheningan itu, aku terus bertanya-tanya, apakah aku seharusnya menghubunginya? Atau cukup menunggu waktu yang tepat untuk berbicara lagi? Satu hal yang pasti, jarak di antara kami semakin nyata, dan hatiku tak bisa membohongi bahwa aku merindukannya, meski kami terlihat seperti dua orang yang asing.

***


Suatu hari yang biasa, aku memutuskan untuk pergi ke kolam renang di sekolah kami, mengabaikan panggilan jam istirahat yang sudah lama berlalu. Ketika teman-teman lain kembali ke kelas, aku masih asyik menyelam, merasakan kedamaian yang membawa jauh dari kerumunan dan kekacauan pikiranku. Dalam kedalaman air, aku merasa seolah terpisah dari dunia, menikmati momen ketenangan yang sangat kubutuhkan.

Namun, saat aku akhirnya muncul ke permukaan, napasku terengah-engah. Di pinggir kolam, aku melihat sosok yang sudah dikenal—Aries. Dia berdiri menunggu, tampak tidak sabar dan sedikit kesal.

“Aku tahu kau di sini, dan kau jelas melanggar peraturan!” ujarnya, suaranya tegas dan menohok. Ekspresi wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda kehangatan; sebaliknya, ada kesan angkuh dan tantangan. Dia mengingatkanku pada semua kesalahan yang pernah kuperbuat, seolah dia menikmati posisi sebagai petugas disiplin.

“Serius? Kenapa kau selalu menggangguku?” balasku, berusaha menahan rasa kesal yang menggebu. Di balik kata-kataku, ada rasa rindu yang terpendam, meski sulit untuk diakui.

Dia menggelengkan kepala, seolah tidak mengerti kenapa aku bertindak demikian. “Kalau kau tidak mau ditangkap, lebih baik segera kembali ke kelas sebelum ada yang melapor. Ini bukan waktu untuk bermain-main,” ujarnya dengan nada yang mengingatkanku pada sifatnya yang selalu mencari-cari kesalahanku.

Meski dia bersikap seolah-olah ingin membuatku benci padanya, ada rasa yang berbeda di antara kami. Sifatnya yang selalu serius dan mengancam seakan menambah ketegangan di udara. Dalam pandanganku, ada kehangatan yang sulit diabaikan, bahkan saat kami beradu argumen.

Lihat selengkapnya