Masa-masa menjelang kelulusan tiba, dan suasana di kelas tiga semakin sibuk. Semua siswa kelas tiga berusaha keras untuk belajar dan mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir. Namun, di tengah kesibukan itu, Marco yang merupakan kakak kelasku meskipun kami seumuran, tetap menjadi bagian penting dalam menjalani hidupku akhir-akhir ini. Sesekali dia mengajakku untuk bermain menjemputku dengan motot maticnya, pergi ke kafe, atau sekadar menemaninya belajar. Rasanya aneh, tetapi aku tidak bisa menolak ajakannya. Meskipun sikapku cenderung acuh tak acuh, aku mendapati diriku selalu mengikuti langkahnya.
Kami sering menghabiskan waktu di kafe kecil di dekat sekolah, di mana kami belajar bersama sambil menikmati segelas es kopi atau teh manis. Marco adalah sosok yang ceria dan penuh semangat, dan aku merasakan kebahagiaan tersendiri ketika bersamanya. Dia juga mulai dekat dengan ayah sambungku, sering kali mereka terlibat dalam obrolan ringan tentang hobi dan kegiatan sehari-hari. Hal ini membuatku merasa lebih nyaman, seolah-olah dia adalah bagian dari keluargaku.
Terkadang, Marco ikut menemaniku ke dermaga saat aku mengamati rutinitas tim SAR yang melakukan patroli atau latihan. Dia tampaknya terpesona oleh semua itu, sama seperti aku. Melihat mereka berlatih dan siap siaga membuatku semakin ingin terlibat dalam dunia itu. Saat itu, Marco akan berdiri di sampingku, mendengarkan penjelasanku tentang setiap gerakan yang mereka lakukan, bahkan ikut berkomentar dengan penuh semangat.
Kadang juga dia juga tidak ketinggalan ikut serta menjadi relawan bersih-bersih pantai dan laut bersama dengan antusias, yang dia juga rasa dia tidak pernah rasakan selama dia hidup di Jakarta dengan hidup yang monotonnya.
Meski aku terkesan dingin dan introvert, kehadiran Marco membuatku merasa lebih hidup. Ada momen ketika aku tidak perlu banyak bicara, dan itu terasa nyaman. Dia seolah mengerti aku tanpa perlu kata-kata. Namun, meski kami semakin dekat, di dalam hatiku masih ada rasa ragu. Apa yang sebenarnya aku rasakan? Perasaanku terhadap Aries, yang meskipun jarang berkomunikasi, masih mengusik pikiranku. Tentu saja ada perasaan takut jika saja Marco akan menganggap persahabatan kami ini menjadi tuntutan yang akan dia tagih di kemudian hari, yang sebenarnya bukan dari bagian persahabatan kami.
Di tengah kebisingan persiapan kelulusan dan kedekatanku dengan Marco, aku merasa ada dua dunia yang bertabrakan. Di satu sisi, ada kebahagiaan yang kudapat dari Marco, sementara di sisi lain, ada rasa kesepian dan kerinduan yang muncul ketika aku mengingat Aries. Dia tetap ada dalam pikiranku, meskipun kami jarang bertemu. Kenapa semua ini terasa begitu rumit?
Saat itu, aku mulai bertanya-tanya tentang masa depan. Apa yang akan terjadi setelah kelulusan? Apakah hubungan kami akan tetap sama, atau akan ada perubahan yang lebih besar? Rasanya waktu terus berlalu, dan aku semakin terjebak dalam perasaan yang tidak bisa kutemukan jawabannya.
***
Hari ini Kakek dan Nenek dari ayahku berkunjung ke rumah. Nenek seharian sibuk di dapur, sedangkan ayah dan kakek sibuk di perkarangan rumah. Entah mengapa belakangan ini rumah terasa aneh semenjak menghilangnya ayah kandungku di buka lagi kasusnya. Kakek dan Nenek sering berkunjung, kakek dan ayah juga lebih banyak memperbaharui dan perbaiki bagian-bagian rumah yang dulu terabaikan dan rusak begitu saja. Kadang mereka berkebun, memperbaiki perkarangan, memperbaiki perabotan. Seakan-akan pekerjaan yang sedang mereka kerjakan ini sebagai persiapan persambutan akan kasus ayahku, yang lagi-lagi dalam hati kecilku berharap ayah kandungku tetap pulang ke rumah apun keadaannya.
Aku juga makin hari makin sering berlatih berenang, joging, bahkan hiking di seputaran bukit dimana tempat barang ayahku di temukan. Yang berbeda hanya beberapa yang sangat mencolok, Marco masih sering menemaniku. Kegiatan yang kami lakukan bersama masih tidak juah seputar menemaninya dan dia menamniku secara tidak sengaja. Kadang pula hanya berpapasan di jalan, mampir ke kedai membeli es krim dan menikmatinya di kursi pinggir jalan yang menghadap ke dermaga di bawah bayangan pohon musim panas.
Hal-hal yang kami lakukan sebenarnya adalah hal-hal yang sederhana. Namun karena hal-hal itu juga membuatku jarang mengunjungi panti tak sesering biasanya.
Ponsel pemberian dari Aries atas tak pernah ku aktifkan masih saja ku taruh begitu saja di dalam tasku semenjak aku mengetahui bahwa bukan Nana lah yang sebenarnya memberikan ponsel itu, melainkan inisiatif dari Aries sendiri. Aku sama sekali tidak pernah mengaktifkannya semenjak hari itu. Entah mengapa rasanya aku begitu takut mengaktifkannya, dan Aries pun tak pernah menghubungiku lagi walaupun dari nomor lamaku yang masih aku gunakan dan aku juga masih belum menemukan cara se-natural mungkin bagaimana mengembalikannya.
Rasanya aku seperti dia abaikan akhir-akhir ini semenjak kehadiran Mio.
"Oh, aku baru ingat!" Seru kakek saat dia sedang menaruh bibit ke tanah di kebun mini yang mereka buat di perkarangan rumah kami. Aku yang sedang duduk menaikan salah satu kakiku sambil mengigit semangka menoleh sekilas ke arah kakek yang berseru. "Sepertinya aku sudah tanda-tanda deminsia."Tiba-tiba saja aku teringat anak itu," katanya menoleh padaku. Aku hanya mengode menggunakan daguku menayakan Apa? yang di maksudnya. "Saat kami pulang dari menonton resistal dia tidak ada kalian bertemu atau semancamnya?" Kakek berdiri dari jongkoknya dan mrenggangkan pinggangnya.