Hi... Bye (Dystopia)

tavisha
Chapter #50

Keberanian

Keheningan mengisi ruang di antara kami, rasanya aneh, kami tak pernah sehening ini sebelum-sebelumnya, selalu ada saja perdebatan argumen, tetapi kali ini dengan berat yang berbeda—sebuah keheningan yang padat, penuh makna yang hanya kami berdua pahami. Aku mencoba menenangkan detak jantung yang entah mengapa berdebar lebih kencang. Tak ada percakapan, namun kehadiran Aries menyelimuti seluruh keberadaanku seperti bayangan yang tak bisa kuhindari.

Mencoba mengalihkan perhatian, aku kembali membuka bukuku, berpura-pura tenggelam dalam kalimat-kalimat yang sebenarnya sudah tak lagi kumengerti. Dari sudut mataku, kulihat tangan Aries menuliskan sesuatu dengan teliti, jemarinya bergerak pelan, seakan setiap kata yang ia catat memiliki makna mendalam. Sederhana, namun begitu asing dan mendebarkan di saat yang sama.

Keningku berkerut. Ada sebuah pertanyaan yang tiba-tiba mencuat dalam benakku: mengapa dia duduk di sini? Di perpustakaan yang begitu luas, mengapa ia memilih kursi di depanku, tanpa permisi, seolah tanpa niat untuk berbicara? Tapi lebih tepatnya, kenapa alam sepertinya bersengkongkol tak membiarkan batinku tenang untuk sementara. Pertanyaan itu aku tahu tidak tepat, kenapa dia hadir duduk di tepat di depanku, karena sudah jelas kursi di perpustakaan ini sudah penuh. Memang tak ada alasan lain jika dia memilih duduk di depanku. Tapi, kenapa di hari ini di saat aku ingin menangkan sejenak diriku yang hampir kehilangan energi untuk hidup kembali, sendirian tanpa seorang yang ku kenal?

Aku memandangi profil wajahnya sejenak—dalam keheningan, ekspresi Aries tampak fokus dan tenang, tapi di balik tatapannya yang terarah pada lembar-lembar buku, ada sesuatu yang terasa... tersembunyi.

Aku mencoba mengabaikan perasaan ganjil yang merayap di dadaku, namun tak bisa menahan diri. Dengan keberanian yang hampir goyah, aku menghela napas dan akhirnya memberanikan diri untuk berbisik, “Aries…”

Hanya satu kata. Ia berhenti menulis sejenak, tetapi tak segera mendongak. Jeda itu, meski hanya sekejap, terasa seperti waktu yang panjang, seolah ia sedang memutuskan sesuatu dalam benaknya. Lalu, perlahan, ia mengangkat kepalanya, pandangannya bertemu dengan mataku—dalam sekali, menembus batas yang biasanya kami pertahankan.

“Ada apa?” tanyanya singkat, suara yang terdengar datar, namun dengan nada yang tak dapat kupahami sepenuhnya.

Aku tergagap, lidahku hampir kelu. Begitu banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan, begitu banyak kata yang menumpuk di benakku, namun satu pun tak kunjung keluar. Akhirnya, aku hanya mampu menjawab, “Tidak… hanya… hanya penasaran.”

Ia menghela napas pelan, entah karena lelah atau mungkin karena merasa aku terlalu ingin tahu. Namun, dalam satu momen itu, aku melihat sesuatu di matanya—kekosongan yang selama ini ia sembunyikan, atau mungkin kesepian yang tak pernah ia biarkan terlihat. Hanya sesaat, sebelum ia kembali tenggelam dalam bukunya, meninggalkanku dengan lebih banyak pertanyaan daripada sebelumnya.

Dalam hening yang menggantung, kami kembali pada buku masing-masing. Namun, kini aku tahu: ada sesuatu di sini yang tak lagi bisa kukendalikan, sesuatu yang mendekat perlahan, tanpa permisi—seperti dirinya yang tiba-tiba hadir tanpa satu kata.

***

Setelah beberapa lama tenggelam dalam bacaan masing-masing, aku merasa cukup. Suasana perpustakaan yang sunyi namun penuh kesibukan telah mengisi kembali energiku. Aku mengemas buku-bukuku, menyusunnya rapi, lalu bangkit dari kursi tanpa mengganggu Aries yang masih sibuk mencatat. Aku beranjak keluar dan membiarkan udara sore yang hangat menyapa kulitku. Rasanya menenangkan, seperti terbebas dari sesuatu yang begitu nyata namun sulit dijelaskan.

Berjalan sedikit menjauh dari perpustakaan, aku memutuskan untuk mampir ke penjual minuman dingin di pinggir jalan. Saat menunggu minumanku disiapkan, aku tak sengaja melihat sosoknya lagi—Aries, melintas di seberang jalan, berjalan kaki. Tidak seperti biasanya, kali ini ia tak membawa sepedanya. Hanya dirinya, ditemani sebuah tas yang tersampir di bahu, melangkah tenang tanpa tergesa-gesa. Ia tak melihatku, atau setidaknya ia berpura-pura tidak melihat.

Aku terdiam, sejenak merasakan dorongan untuk memanggilnya atau menawarkan minuman yang baru saja kubeli. Namun, entah mengapa aku memilih untuk tidak melakukannya. Mungkin karena rasa segan yang aneh, atau mungkin karena aku sendiri tak ingin mengganggu ketenangan yang ia bawa bersama langkah-langkahnya. Aku menahan diri, hanya mengamatinya dari kejauhan, membiarkan kehadirannya berlalu seperti bayangan yang enggan kukejar.

Angin sore berembus lembut, membawa aroma aspal dan rerumputan. Sosoknya semakin menjauh, menghilang di balik keramaian yang biasa kulalui setiap hari. Ada keheningan yang tertinggal, samar namun menusuk, seperti ada sesuatu yang tak tuntas di antara kami, sesuatu yang tak pernah terucap dan entah kapan akan terselesaikan.

Lihat selengkapnya