Suasana perpustakaan tetap hening, seakan mendukung diamnya kami berdua di sini. Aries tetap tenggelam dalam bukunya, sementara aku hanya duduk di sampingnya, merasa ada keakraban yang aneh dalam kebisuan ini. Tidak ada sindiran atau percikan perdebatan seperti biasanya—dia bahkan terlihat enggan mengusikku, hanya membiarkan kehadiranku di sana.
Setelah beberapa lama, aku tidak bisa menahan diri untuk membuka mulut. “Kau sering merazia barang-barang yang gak ada hubungannya sama sekolah, tapi sekarang…” Aku menunjuk earphone yang terhubung ke MP4 di sebelah buku Aries. “Kamu sendiri malah dengerin musik di sini.”
Dia mengangkat bahu, tak banyak membela diri, hanya memberikan ekspresi yang seolah mengatakan, lalu kenapa?
“Boleh gak, aku ikut denger?” tanyaku, merasa agak terganggu karena samar-samar mendengar alunan lagu yang tak jelas. Dia menatapku sebentar, mungkin menimbang-nimbang permintaanku, sebelum akhirnya mengangguk dan menyerahkan satu earphone padaku.
Aku mengambilnya, sedikit salah tingkah saat memasukkan earphone itu ke telingaku. Begitu suara musik masuk, aku langsung mengenali lagu yang sedang diputar: First Love dari Utada Hikaru. Lagu itu memang populer, dan selalu ada di playlist Winamp komputer sekolah, hasil suntikan dari anak-anak yang sering membawa flashdisk mereka ke sini—meski dengan risiko komputer jadi sering kena virus.
Sekilas, aku sempat berpikir, Apakah ini… sengaja buatku? Tapi buru-buru aku buang jauh-jauh pikiran itu. First Love memang lagu yang digemari banyak orang, dan bisa saja Aries mendengarkannya karena ikut-ikutan tren.
Aku menatapnya sebentar, berharap dia tidak menyadari kebingunganku karena merasa *ge-er sesaat. Dia tetap tenang, matanya tak lepas dari halaman buku yang dia pelajari, seolah-olah kehadiranku tak lebih dari angin lewat. Di dalam earphone, suara lembut Utada Hikaru terus mengalun, menciptakan jeda dalam kebisuan kami yang sama sekali tidak mengganggu—malah, ada kenyamanan yang aneh di sana.
Dalam diam yang kurasa hanya aku yang merasakan kecanggungan ini, kami hanya duduk berdampingan. Aries benar-benar tenggelam dalam buku yang dipelajarinya, sementara aku, dengan earphone di satu telinga, membiarkan diri terhanyut dalam lirik-lirik First Love yang terasa begitu melankolis. Mungkin karena suasana perpustakaan yang senyap, atau mungkin karena aku terlalu hanyut dengan melodi yang mengalun, tiba-tiba aku merasa suasana di antara kami berubah—sesuatu yang tenang namun mendalam.
Aku mencoba mencuri pandang ke arah Aries, berharap menemukan sesuatu di wajahnya, sebuah ekspresi yang mungkin bisa menjelaskan kenapa dia mendengarkan lagu ini. Tapi yang kutemukan hanyalah ketenangan yang dingin, jauh berbeda dari dirinya yang biasanya suka mengomentari apa pun yang kulakukan. Ada perasaan yang tak bisa kujelaskan, semacam… penasaran yang mengebukku secara tak kasat mata.
Perlahan, aku menghela napas, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu dari benakku. Aku beralih memandangi meja di depanku, berpura-pura sibuk memperhatikan buku yang kubuka sembarang tadi dari tumpukan milik Aries. Tapi tak peduli seberapa keras aku mencoba mengalihkan pikiran, tetap saja hatiku tertarik pada sosok di sebelahku ini. Aries—sosok yang selalu mendebatku, menggangguku, tapi juga sosok yang tanpa kusadari sering hadir di pikiranku belakangan ini.
“Aries,” aku memberanikan diri memanggil namanya, sedikit ragu. Dia hanya menggumam tanpa menoleh, seolah itu cukup bagiku untuk melanjutkan.
“Kenapa kamu dengerin lagu ini?” tanyaku, nadaku lebih pelan dari yang aku inginkan.
Dia berhenti sebentar, seperti menimbang jawabannya. “Terkenal, kan?” jawabnya singkat, terdengar biasa saja, tapi juga terasa… dingin. Seperti ada sesuatu di balik sikapnya yang seolah tanpa emosi itu. Aku berharap dia akan mengatakan sesuatu yang lebih, tapi dia hanya kembali tenggelam dalam bukunya.