Sambil membawa botol-botol minuman dingin untuk peserta kegiatan, aku berjalan di samping Marco. Saat aku berpaling sebentar ke arah danau yang luas, tiba-tiba mataku menangkap sosok Hans. Ia berada di seberang danau, tampak seperti sedang diapit oleh dua pria bertubuh besar yang memaksanya berjalan menuju arah hutan. Jantungku berdegup cepat; pemandangan itu aneh dan menakutkan. Hans terlihat seperti berusaha melepaskan diri, tapi kedua pria itu terus menekannya, menariknya lebih jauh dari pandangan.
Aku mencoba mengamati mereka, tetapi dalam sekedip mata, ketiganya menghilang begitu saja di antara pepohonan. Anehnya, meskipun hutan di sana tidak terlalu lebat dan pohon-pohonnya jarang-jarang, aku tak bisa melihat ke mana mereka pergi. Aku bahkan tak yakin bagaimana mereka bisa lenyap begitu cepat.
“Marco, kamu lihat itu?” tanyaku dengan suara bergetar, menunjuk ke arah hutan tempat Hans menghilang.
“Lihat apa?” Marco menoleh, tampak bingung. “Aku gak lihat yang aneh-aneh selain pemandangan yang indah ini.” dia tersenyum sedikit mengoda.
Aku mengerutkan kening, mencoba mengatasi rasa takut yang perlahan merayapi. “Aku tadi melihat Hans... sepertinya dia dipaksa jalan sama dua orang asing. Mereka menuju ke arah hutan di sana.”
Marco hanya menatapku dengan alis terangkat, menunjukkan ketidaktahuan. “Mungkin kamu salah lihat. Lagipula kalau ada orang sedang berjalan disana, sudah pasti sangat kelihatan dari sini.”
Namun, ketidakpastian ini tak membuatku tenang. Tanpa pikir panjang, aku mengeluarkan ponselku dan mencoba menelepon Hans. Nada panggilan berdering, tetapi tidak ada jawaban. Aku merasa semakin gelisah. Kucoba lagi mengirim pesan singkat, berharap dia akan membalas secepatnya, setidaknya untuk memberitahukan bahwa dia baik-baik saja. Tetapi layar ponselku tetap kosong, tak ada notifikasi masuk darinya.
“Mungkin dia sibuk, nanti juga dibalas,” kata Marco paham siapa yang sedang ku hubungi, sambil berusaha menenangkanku.
Aku hanya mengangguk, mencoba menahan rasa khawatir yang masih menggelayut. Aku memutuskan untuk memberikan waktu, berharap Hans hanya sedang sibuk dan bukan dalam masalah besar. Aku terus memantau ponselku sepanjang hari, dan akhirnya, menjelang malam, sebuah pesan masuk dari Hans.
Hanya sepatah dua patah kata yang menguatkan harapanku: Maaf gak bisa jawab tadi. Aku baik-baik saja.
Aku menghela napas lega, tapi dalam hati, perasaan gelisah itu tak benar-benar hilang. Mungkin Hans memang baik-baik saja, tapi ada sesuatu yang aneh di balik semua ini—dan aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.