Di sebuah sudut toko buku kecil di pusat kota, Marco dan aku tengah sibuk mencari buku. Rak-rak kayu tua yang mengeluarkan aroma khas kertas usang mengelilingi kami, dan sesekali kami saling merekomendasikan buku atau sekadar bercanda.
“Aku jamin buku ini bakal bikin kamu nangis,” kata Marco sambil menunjukkan novel tebal berjudul Endless Memories. Dia tersenyum jahil, seolah tahu bagaimana akhir dari cerita tersebut.
“Oh, jadi kamu sengaja mau bikin aku nangis, ya?” balasku sambil terkekeh. Aku mengambil buku itu dari tangannya dan membaca sinopsis di belakang sampul.
Marco mengangkat bahu dengan ekspresi tak bersalah. “Enggak sih, tapi kadang kan nangis bagus juga. Melepaskan emosi, gitu.”
Aku menatapnya sejenak, sedikit terkejut dengan sisi sensitif yang jarang dia tunjukkan. Biasanya Marco selalu penuh canda, tapi ternyata di balik sikapnya yang ceria, ada sesuatu yang lebih mendalam. Aku menyimpan buku itu kembali ke rak dan melanjutkan pencarian di bagian novel misteri.
Kami menghabiskan waktu cukup lama, mengobrol sambil sesekali tertawa kecil, sampai akhirnya kami memutuskan untuk menyelesaikan belanja buku. Kami melangkah keluar dari toko dengan masing-masing membawa beberapa buku pilihan, sementara matahari sore yang hangat menyinari jalanan yang mulai lengang.
“Kamu mau baca yang mana dulu?” tanya Marco, memecah keheningan yang nyaman di antara kami.
“Hmm, mungkin yang kamu rekomendasikan tadi,” jawabku sambil tersenyum. “Siapa tahu kamu benar soal efek sampingnya.”
“Oh, aku pasti benar,” katanya percaya diri sambil tertawa. “Tapi, kalau kamu butuh bahu buat nangis, aku sih, ya... gak keberatan.”
Aku tertawa dan mendorong bahunya pelan. “Awas aja kalau sampai aku benar-benar nangis. Jangan kabur!”
Dia memasang ekspresi serius palsu sambil meletakkan tangannya di dada, seolah-olah sedang bersumpah. “Demi segala buku di toko tadi, aku gak akan lari.”