Hubunganku dengan Aries berjalan seperti biasa, tanpa ada perubahan yang signifikan. Kami seakan-akan berkomitmen untuk menjaga jarak, menjaga perasaan orang-orang di sekitar kami. Aku dengan Marco, dan Aries dengan Mio. Meski keduanya tidak secara eksplisit mengungkapkan apa yang kami rasakan, kami semua tahu ada benang halus yang mengikat perasaan kami masing-masing.
Setiap kali aku berkunjung ke perpustakaan, Aries sering kali ada di sana, duduk di sudut dengan buku di tangan dan tatapan yang tertuju jauh. Kami bertukar sapaan, tetapi tidak pernah lebih dari itu. Rasanya seperti ada semacam perjanjian tak tertulis di antara kami—jangan terlalu dekat, agar tidak melukai satu sama lain. Terlebih lagi aku pernah mengajui diri bahwa aku akan mendukung jika dia akan lebih dekat dengan orang yang dia sudah lama sukainya itu.
Sementara itu, Marco kadang menemaniku belajar di perpustakaan. Dia selalu berusaha membuat suasana menyenangkan, mengajakku tertawa dengan lelucon-lelucon konyolnya. Aku mulai merasakan kenyamanan ketika bersamanya, seolah dia adalah pelindungku di tengah kabut kebingungan ini. Walau hatiku tidak sepenuhnya terbuka untuknya, aku menikmati saat-saat bersama.
Di panti, suasana tetap seperti biasanya. Aku tetap membantu kegiatan di sana, tanpa ada intervensi dari Aries. Dia tampak asyik dengan permainan pianonya menjelang senja, melodi yang mengalun menambah suasana tenang di panti. Aku sering kali berdiri di dekatnya, mendengarkan dengan hati yang campur aduk. Suara piano itu seolah menjadi jembatan antara kami, meski kami tahu bahwa kami tidak bisa menyeberanginya.
Kami hidup seperti biasanya, tanpa ada permusuhan yang jelas. Hanya ada saling menjaga perasaan, seolah-olah kami semua berdansa di tepi jurang, tidak ingin terjatuh tetapi juga tidak ingin mundur. Masing-masing dari kami memiliki rahasia yang dipendam, dan dalam keheningan, aku merasakan ketegangan yang tidak terucapkan. Namun, di tengah semua itu, ada satu pertanyaan yang selalu terngiang di pikiranku: apakah ini adalah cara kami untuk berpegangan pada sesuatu yang lebih dalam, ataukah kami hanya menghindari kenyataan yang menyakitkan?
Setiap hari, aku berharap bisa menemukan jawaban.
***
Di daerahku, ada mitos yang selalu dibicarakan orang-orang. Setiap kali bulan Safar datang, mereka percaya bahwa laut akan menjadi tidak bersahabat. Terutama insiden-insiden tumbal akhir tahun di laut sering menyebar dari turun-menurun. Tahun ini menjadi kombinasi yang pas, bulan safar tepat pada akhir tahun. Tidak hanya cerita mitos, namun aku beberapa kali ada disana membuktikan cerita-berita itu. Kenangan yang membekas tentang cerita-cerita itu ialah, saat akhir tahun masih aku duduk di SD, ada insiden mobil yang terjatuh di laut, anak-anak yang berenang lalu hanyut lalu di temukan di pantai yang cukup jauh dari dari TKP, beberapa kapal yang gagal jalan karena ombak yang tidak bersahabat. Tidak sedikit pula yang percaya tentang mitos akhir tahun dan bulan safar mengurungkan niatnya jika ingin menyebrang menggunakan speed boat.
Namun dari semua insiden yang mengerikan itu, yang paling membekas dalam ingatanku adalah tentang anak-anak yang tenggelam di pelabuhan. Saat itu, aku duduk di bangku SMP, dan kabar menyedihkan itu datang dari teman sekelasku. Mereka, yang merupakan tetangga dari teman sekelasku, mereka pergi berenang di pinggir pelabuhan bersama teman-teman mereka. Namun, menjelang sore, mereka tidak juga kembali ke rumah.
Hari itu, berita tentang tenggelamnya anak-anak itu menyebar dengan cepat. Rasa khawatir membara di hati orang-orang.. Seharian kami menunggu, berharap ada kabar baik. Namun harapan itu sirna saat semua anak tersebut ditemukan meninggal dunia, kecuali satu orang yang masih dinyatakan hilang. Rasa duka menyelimuti lingkungan kami, seolah seluruh desa merasakan kepedihan yang sama. Tiap sore orangorang berkumpul di dermaga menunggu kabar anak itu, namun sampai dua hari anak itu belum ada kabar di temukan dan tiap sore kami hanya melihat polisi laut patroli di lautan.
Karena penasaran dan tergerak oleh rasa simpati, setelah dua hari tanpa aku pergi ke dermaga sore itu bersama temanku, terutama rasa penasara yang ingin tahu juga. Di sana, kerumunan orang berkumpul, dan suasana sunyi yang menyedihkan terasa sangat menyentuh. Sambil menatap tenangnya lautan, hatiku merasakan gelombang kesedihan yang mendalam. Tiba-tiba, aku merasakan firasat aneh. Aku mengalihkan pandanganku ke ujung pantai di sebelah kiri, di tempat yang dikenal sebagai Pantai Ujung Arang—konon katanya merupakan pintu masuk pertama bagi masyarakat yang konon katanya pertama kali datang ke daerah ini.
Sepulang dari ikut-ikutan menunggu di dermaga, Malamnya, aku terlelap dengan perasaan yang masih penasaran. Dalam mimpiku, aku melihat seorang anak kecil yang sedang bermain pasir, seolah-olah sedang menulis-nulis di tanah. Suasana mimpi itu tampak gelap, dan anehnya suara mobil yang sedang di panaskan terdengar di latar belakang. Penasaran, aku keluar dari dalam rumah menuju garasi, saat keluar di perkarangan aku melihat ada anak-anak yang aku tidak kenal, aku mendekatinya dan bertanya, “Kamu ini siapa? Kenapa malam-malam main di sini?”
Saat itu, aku mendengar suara dari garasi mobil ayahku yang menderu-deru, seperti mesin yang sedang digas. Suara itu menggangguku, dan aku berencana untuk menegur ayahku sekaligus. Namun, sebelum aku melangkah lebih jauh, anak kecil itu berkata, “Kasi tahu mamaku, aku ada di Pantai Ujung Arang.” aneh, dan aku juga tidak mengerti.