Kehidupan sehari-hariku setelah kejadian di pelabuhan perlahan kembali normal, meskipun kenangan itu masih membekas di benak. Hubunganku dengan Aries tetap seperti biasa, kami menjaga jarak, saling menghargai perasaan masing-masing. Namun, di balik semua itu, aku merindukan perdebatan kecil kami yang biasanya terjadi di perpustakaan atau saat dia selalu mencari kesalahan-kesalahan. Ada sesuatu yang menyenangkan dan menantang dari cara dia berargumen.
Malam tahun baru tiba, dan Nana, pengurus panti, mengadakan acara khusus untuk merayakannya. Suasana penuh semangat. Kami semua bergegas menyiapkan segala sesuatunya—dari makanan bakar, seperti jagung, ubi-ubian dan ayam, hingga kembang api yang sudah ditunggu-tunggu anak-anak panti. Dengan suara tawa dan riuh rendahnya percakapan, suasana semakin hangat.
Aries dan Marco, bersama anak-anak laki-laki lainnya, sibuk menyiapkan api untuk pembakaran. Sementara itu, para gadis, termasuk aku dan Mio, mengurus bahan-bahan makanan. Mio, yang memang agak pemalu, terlihat berusaha untuk berbaur. Dia tak pernah blak-blakan, tapi setiap kali kami bekerja sama, dia selalu menunjukkan senyum hangatnya dan membantu dengan penuh semangat.
“Aku tidak menyangka kamu mau ikut,” kataku kepada Mio saat kami menuangkan bumbu pada ayam yang akan dibakar.
Dia tersenyum malu. “Iya, aku pikir acara ini bakal seru. Aku suka melihat orang-orang berkumpul,” jawabnya pelan.
Kami tertawa, dan aku bisa merasakan kehangatan persahabatan kami meski Mio tidak selalu mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Dia memang mudah berteman, tetapi juga bisa menjaga jarak secara alami, membuat interaksinya terasa lebih tulus dan hangat.
Ketika semua persiapan hampir selesai, kami berkumpul di area terbuka panti. Langit mulai gelap, bintang-bintang bersinar cerah di atas kami. Kembang api akan segera diluncurkan, dan anak-anak panti tampak bersemangat, tak sabar menunggu momen itu. Dalam kerumunan, aku mencari-cari Aries dan menemukan dia sedang bersiap dengan beberapa remaja laki-laki, menyalakan api yang dari tak kunjung selesai.
Malam tahun baru semakin mendekat, dan suasana di panti terasa sangat meriah. Anak-anak berlarian sambil tertawa, dan aroma makanan yang dipanggang memenuhi udara. Sambil membantu Nana di dapur, aku tidak bisa menahan diri untuk mengeluh.
“Marco, ayo dong! Bantu sedikit, jangan hanya asyik di sana!” teriakku, setengah bercanda saat melihat Marco dan beberapa anak lainnya berkumpul di sekitar motor. Mereka tampaknya bersemangat untuk membeli petasan dan kembang api lagi, sebuah tradisi yang selalu dinanti-nanti setiap tahun.
“Tenang saja, aku pergi sebentar!” jawab Marco dengan senyum lebar. “Kita butuh yang 'wah' untuk malam ini!”
Mio yang sedang mencuci sayuran di sebelahku mengangguk, meski wajahnya menunjukkan kegugupan. Dia lebih suka berada di dapur daripada berbaur dengan anak-anak laki-laki yang tidak terlalu mengerti cara menyiapkan api. “Mereka tidak ada yang paham soal ini, ya? Susah sekali,” kataku sambil menggelengkan kepala.
“Ya, mereka hanya bisa berteriak-teriak,” jawab Mio sambil tertawa kecil. “Tapi setidaknya mereka menghibur!”
Saat Marco pergi, suasana menjadi sedikit lebih tenang karena hanya dia yang dari tadi ribut dengan petasannya. Aku dan Mio melanjutkan memasak, dan tanpa terasa, waktu berlalu dengan cepat. Kami bercanda, menciptakan momen-momen lucu yang membuatku merasa lebih nyaman.