Hi... Bye (Dystopia)

tavisha
Chapter #59

Puzzel Piece

Awal tahun ini terasa berat. Kehilangan Hans tanpa perpisahan yang layak membuatku merasa kecewa dan bingung. Ia tiba-tiba pindah tanpa memberi tahu ke mana perginya, meninggalkan kami hanya dengan kabar dari wali kelas. Rasanya seolah ada ruang kosong yang ditinggalkannya, dan aku bertanya-tanya kenapa ia tidak memberi tahu kami. Padahal sebelumnya aku sering menganggap anak ini tidak pernah ada, tapi setelahnya seperti seuatu pukulan yang menyadarkanku.

Setelah itu, wali kelas menyarankan agar aku mengikuti olimpiade matematika. Aku tidak tahu apakah itu langkah yang tepat, tetapi aku merasa harus mencoba. Karina tenggelam dalam kegiatan ekstrakurikulernya, sementara Marco sesekali datang mengunjungiku untuk belajar bersama, kadang di tengah sibuknya belajar dia juga menemaniku. Dia seperti cahaya di tengah kegelapan, memberikan semangat saat aku merasa terpuruk.

Mio masih membantu di panti, dan kami bertemu sesekali, tetapi Aries semakin sulit dijangkau. Dia terbenam dalam persiapannya untuk beasiswa ke Jepang, seolah dunia di sekelilingnya lenyap. Aku sudah hampir tidak pernah mendengar suara pianonya lagi.

Namun, aku dan Marco serta Karina masih intens mendukung satu sama lain. Kami sering berkumpul di perpustakaan, kafe atau di taman untuk belajar bersama atau sekedar santai-santai saja, menciptakan suasana yang nyaman meski di tengah kesibukan masing-masing. Marco dengan semangatnya membantuku menyelesaikan soal-soal matematika yang rumit, sementara Karina menceritakan tentang pengalaman serunya di ekstrakurikuler.

Di tengah kesibukan itu, aku mencoba mengingat kembali kenangan indah yang kami miliki, berharap suatu saat kami bisa berkumpul lagi seperti dulu. Tapi, entah kenapa, kesibukan itu tak bisa sepenuhnya mengusir rasa kehilangan yang mengendap dalam hatiku.

***

Hari menjelang ujian kelulusan untuk anak kelas tiga akhirnya sudah di depan mata tepat sebulan lagi, aku bisa merasakan aura menegangkan saat berpapasan dengan anak kelas tiga umumnya, namun aura itu berbeda dengan aku berhadapan dengan Aries atau juga Marco yang sepertinya tak merasakan beban yang menekan sebagai anak kelas tiga, khususnya Marco. Anak itu belajar layaknya formalitas saja, alih-alih mengajakku pergi berkencan, dia malah berpura-pura mengajakku belajar bersama. Aku bisa membaca jalan pikirannya seperti itu.

Beda dengan Marco yang kerapkali mengajak aku belajar bersama, minggu-minggu menjelang ujian. Aku mendapat kabar bahwa Aries akan pergi ke Jepang, sebenarnya Aries hanya pergi ke Jepang selama dua minggu, tepatnya ke Tohoku, untuk survei kampus dan menghadiri wawancara. Ada sponsor yang mendukung studinya di sana, dan sebelum ujian nasional, dia sudah mendapat kesempatan untuk meninjau kampus barunya. Meski Aries akan segera kembali, tetap saja perasaan tak menentu menghantui karena dia tak berpamitan langsung denganku.

Hari keberangkatannya, tepat hari ini, hari sabtu. Sementara itu, Marco sudah tiba di depan rumahku, bukan untuk pergi mengantarnya melainkan untuk menjemputku ke acara ulang tahun salah satu staf di panti. Namun, sesampainya di depan rumah, tiba-tiba Marco menepuk jidatnya dan meminta maaf dengan sedikit kikuk. “Astaga, aku lupa bawa hadiahnya! Maaf, boleh mampir dulu ke rumahku sebentar buat ambil?”

Aku menatapnya dengan alis terangkat, berpura-pura jengkel. "Marco, seriusan deh. Jadi aku sudah capek nunggu di sini, terus sekarang malah mau putar balik ke rumah kamu?" Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil pura-pura ngambek.

Marco hanya cengengesan sambil mengangkat tangan, memasang wajah minta maaf. "Iya, iya. Maaf, emang aku ceroboh. Tapi kan, anggap aja bonus quality time sama aku," balasnya sambil mengedipkan mata, membuatku tertawa kecil dan akhirnya mengangguk setuju.

"Ya udah, buruan, siapa tahu nanti malah kelupaan lagi," kataku sambil naik lagi ke motornya, kali ini dengan nada menggoda.

Saat perjalanan menuju rumah Marco, aku masih sempat bercanda, tapi entah kenapa, mendekati rumahnya, perasaan tak nyaman mulai muncul pelan-pelan. Sesampainya di depan gerbang, aku merasa ada yang aneh dan membuatku makin gelisah, tapi aku berusaha tetap tenang. Marco menoleh, menyadari perubahanku.

"Kamu mau ikut masuk atau tunggu di sini aja?" tanyanya.

Lihat selengkapnya