Setelah semua yang terungkap tentang Aries, tentang rumah yang ditinggali Marco, dan tentang semua pertanyaan yang membebaniku, napas terasa berat, seperti tersangkut di antara rahasia dan ketidakpastian. Apakah Aries tahu saat mendekatiku, apakah semua yang terjadi ini direncanakan, atau sekadar kebetulan yang dipintal takdir? Pertanyaan itu terus berputar di benakku, mengepung tanpa memberi ruang untuk berpikir jernih.
Kami batal ke panti lebih awal untuk perayaan ulang tahun itu. Kami yang seharusnya hanya singgah malah memutuskan memutar arah menuju bandara. Nana sudah kembali lebih dulu ke panti setelah mengantar Aries, sementara waktu keberangkatan Aries semakin dekat—saat itu ia pasti sudah duduk di pesawat, siap terbang menuju Jepang.
Sambil menahan kegugupan, aku mencoba meneleponnya, dan untungnya ia menjawab. Ada keheningan singkat di antara kami, Aries menjawab dengan nada datar, nyaris dingin. Ia terdengar terburu-buru. "Aku harus me-nonaktifkan telponku, sebentar lagi pesawatnya mau terbang." aku tahu, ia harus segera mematikan teleponnya. Namun, aku tidak bisa menahan diri.
Tanpa basa-basi, aku langsung menanyakan hal yang mengganjal di hatiku sejak lama. “Apa kamu tahu dari awal kalau aku adalah saksi dari insiden itu? Itu sebabnya kamu mendekatiku, kan?”
Sejenak hening. Aku mendengar napasnya dari seberang, panjang dan dalam. Terasa berat, seolah ia sedang mencari jawaban yang tepat. Lalu ia berkata dengan suara yang nyaris tak terdengar, meminta maaf, mengatakan bahwa ia harus segera menonaktifkan teleponnya.
Aku tersentak. “Aries, tolong… beritahu aku. Tolong…” Suaraku pecah, dan aku tahu, tangisku mulai terdengar di ujung telepon. Aku butuh jawaban, setidaknya satu kebenaran yang bisa membuatku bernapas lebih lega.
"Maaf, aku akan me-nonaktifkan ponselku." katanya langsung memenatikan sambungan tanpa jawaban yang terjawab.
***
Sesampainya di panti, aku berusaha menyembunyikan perasaanku yang kacau. Meskipun Marco berusaha menjagaku, aku tahu aku tidak bisa berlama-lama bersembunyi dalam keadaan seperti ini. Namun, Nana tampaknya menangkap ketidakbiasaanku.
Dengan langkah lembut, dia mendekatiku dan menyadari mataku yang bengkak setelah menangis. "Ada apa?" tanyanya dengan nada lembut, menggenggam tanganku.