Nana dan Marco berusaha menenangkanku beberapa kali, tetapi setiap upaya itu terasa sia-sia. Sudah seminggu sejak Aries pergi ke Jepang, dan aku masih terjebak dalam ketidakpastian. Tidak ada kabar khusus untukku, tidak ada jawaban untuk pertanyaan-pertanyaanku yang menggantung.
Aku terus mencoba menghubunginya, baik melalui telepon maupun SMS, seolah berharap dia akan membacanya suatu hari nanti. Namun, aku tahu dari Nana dan Marco bahwa dia telah mengganti nomornya. Setiap kali aku memikirkan tentang itu, hatiku terasa semakin berat. Dia tidak pernah menanyakan atau menyinggung perihal aku. Hanya sesekali, dia meminta Nana untuk memberitahuku bahwa dia baik-baik saja di sana dan berbagi cerita tentang kehidupan barunya di kampus.
Dalam kebisuan yang menggelayut di antara kami, rasa cemas menyelip di dalam hatiku. Apa yang sebenarnya terjadi pada Aries? Apakah dia benar-benar baik-baik saja, atau dia hanya berusaha menyembunyikan semua rasa sakitnya dari dunia? Mungkin semua ini terlalu banyak baginya, dan dia memilih untuk menjauh—menjauh dari masa lalu, menjauh dari kenangan yang menyakitkan, dan juga menjauh dariku.
Suatu malam, saat aku duduk di ruang tamu panti, memandangi langit yang mulai gelap, aku mendengar suara Marco di belakangku. “Kamu harus percaya, Aries akan baik-baik saja,” katanya pelan, seakan membaca pikiranku. “Dia hanya butuh waktu untuk menyembuhkan.”
Aku mengangguk, meski hatiku tetap ragu. “Tapi aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku. Seolah-olah dia membawa serta semua harapanku ketika pergi.”
Nana, yang duduk di sampingku, menggenggam tanganku dengan lembut. “Kami di sini untukmu. Jangan merasa sendirian. Kita semua berjuang melalui ini bersama.”
Aku berusaha tersenyum, tapi hatiku masih dipenuhi oleh kesedihan dan kerinduan. Keberadaan Nana dan Marco memberiku sedikit kenyamanan, tetapi ketidakpastian tentang Aries terus menghantuiku.
***
11 Maret 2011, saat itu aku baru saja pulang dari bimbingan belajar di sekolah, sekitar jam lima sore. Sebelum pulang ke rumah aku mampir ke toko untuk membeli air minum, saat hendak keluar tidak sengaja aku tertarik melihat berita di televisi toko tersebut. Berita itu menampilkan gambar-gambar mengerikan tentang gempa bumi berkekuatan besar yang melanda Jepang, diikuti oleh tsunami dahsyat yang meluluhlantakkan segalanya di wilayah Tohoku. Gelombang besar menghancurkan rumah, mobil, dan segala yang berada di jalurnya, membawa barang-barang ke laut, sementara orang-orang berusaha menyelamatkan diri dari terjangan air yang datang dengan cepat dan tak terduga. Berita itu juga menunjukkan kerumunan orang yang panik, mengungsi ke tempat yang lebih tinggi, sementara banyak lainnya terjebak dalam situasi yang mengerikan.
Kepanikan melanda diriku, dan aku merasa campur aduk antara rasa takut dan kebingungan. Botol air minum yang kutenteng terjatuh, seolah merefleksikan kekacauan dalam pikiranku. Aku belum pasti apakah tempat itu juga tempat Aries berada, dan gambaran tentangnya berada di tengah bencana ini membuatku semakin cemas.
Tanpa berpikir panjang, aku berlari menuju panti asuhan. Sesampainya di sana, suasana panik menyelimuti seluruh panti. Beberapa orang terlihat berkerumun di depan televisi, menanti kabar terbaru, sementara yang lain berusaha menghubungi keluarga atau teman yang mungkin berada di Jepang.
Aku melihat Nana terkulai tak berdaya, sudah pingsan dan sedang dievakuasi ke kamarnya. Di sisi lain, Marco tampak bolak-balik, dengan telepon di telinganya, berusaha menghubungi seseorang untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Melihatnya, hatiku berdebar-debar.