Kehadiran Mio selalu menjadi dilema yang tak terhindarkan bagiku. Dia sahabat yang baik, tempat berbagi cerita dan saling mendukung, dan aku pun pernah jujur padanya—aku menjaga hati ini untuk seseorang. Namun, meski telah menyatakan perasaanku yang sebenarnya, rumor tentang kami tetap tak terbendung, seolah semua orang sudah menyimpulkan kami berpacaran. Kenyataannya, tidak ada apa-apa di antara kami.
Yang lebih mengkhawatirkanku adalah perasaan Stephanie padaku. Aku takut, sekaligus berharap, ada sesuatu di balik pandangan matanya yang selalu kutemukan terarah padaku. Karenanya, saat acara reuni sepuluh tahunan di panti, aku memberanikan diri untuk akhirnya menyatakan perasaanku. Namun, tepat ketika keberanian itu muncul, kehadiran Mio dan Marco menghancurkan momen itu. Apa yang kuharapkan bisa mengakhiri ketidakpastian ini justru berakhir berantakan, meninggalkan aku dengan penyesalan mendalam.
Kenangan itu membawaku kembali pada percakapan di tepi danau bersama Stephanie. Dia pernah menyebutkan tentang empat menit krusial—waktu yang menentukan antara hidup dan mati saat seseorang tenggelam. Jika dalam empat menit itu tak ada yang menolong, segalanya bisa berakhir dalam penyesalan yang tak terhingga.
Saat ini, aku merasa seperti tenggelam dalam empat menit yang sama. Setiap detik yang berlalu adalah kesempatan yang terlewat untuk menyelamatkan perasaan kami, untuk mengatakan yang sebenarnya sebelum semuanya terlambat. Dan mungkin, seperti seseorang yang tak terselamatkan dalam air yang dalam, aku telah membiarkan perasaan ini terbenam terlalu lama, hingga akhirnya terseret jauh, tak terselamatkan lagi.
Hari itu terasa berbeda dari biasanya—hari yang dipenuhi dengan perasaan ganjil yang sulit dijelaskan. Aku melihat Stephanie berlari keluar dari gerbang panti dengan langkah tergesa-gesa, ekspresi di wajahnya terlihat tegang. Setelah bertanya pada beberapa orang di panti, aku mengetahui bahwa ia baru saja bertemu dengan polisi. Mereka telah menemukan beberapa barang peninggalan ayahnya yang selama ini hilang, tersembunyi di suatu tempat di bukit. Pasti ada sesuatu yang sangat mengganggunya, membuatku merasa khawatir dan ingin menyusulnya.
Namun, saat aku hendak berjalan menuju gerbang, pandanganku tertumbuk pada seseorang yang berdiri di balik pagar—seseorang yang familiar namun asing pada saat yang sama. Seorang perempuan dengan wajah yang sangat mirip dengan Stephanie, namun lebih dewasa dan tampak penuh misteri. Ia berdiri dengan tenang, bersandar dengan tangan terlipat di depan dada, seolah memang menungguku di sana.
Aku terpaku, mencoba memastikan apakah penglihatanku tidak salah. Sesekali, aku melirik ke arah Stephanie yang masih berlari menjauh dan kembali memandang perempuan ini, mencoba mengaitkan kehadirannya dengan apa yang baru saja terjadi. Perempuan itu akhirnya mengubah posisi berdirinya, menyelipkan satu tangan ke dalam saku coat-nya, lalu berkata dengan nada dingin, "Aku sudah memperingatimu."
Kata-kata itu menghentakku, tetapi rasa penasaran menahan kakiku di tempat. Perempuan itu memandang ke arah Stephanie yang semakin menjauh, lalu berujar, "Setiap kali kau terlibat dengannya, sesuatu berubah di masa depan. Aku tidak sedang menyelamatkan diriku," sambil menunjuk pada sosok Stephanie yang sudah hampir tak terlihat. "Aku sedang menyelamatkanmu. Lebih baik kau pikirkan baik-baik, dan jaga jaraklah dariku... di masa ini."
Kata-katanya membuatku bingung, tapi juga membuat perasaan aneh merayapi diriku. "Aku tidak pernah merasa terlibat denganmu," gumamku, setengah berusaha menyanggah, setengah berharap ada penjelasan di balik semua ini.
Perempuan itu tersenyum kecil, namun tatapannya tajam. "Kau terlibat denganku di masa ini... di masa laluku," ujarnya, nada suaranya mulai melembut. "Dan semakin kau terlibat, semakin mengerikan kau di masa depan."
Sebelum aku sempat mengatakan apa pun, dia melanjutkan, "Aku baru saja menguburkan barang peninggalan ayahku di bukit, barang yang kelak kutemukan di rumahmu… di masa depan."
Lalu, dengan tatapan terakhir yang penuh peringatan, ia menatapku dalam-dalam dan berkata, "Menjauhlah... sebelum kau menghancurkan ‘kita.’"
Setelah itu, ia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan aku dalam kebingungan yang mendalam, bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa takdirku terasa semakin aneh.