Hi Bye Ummi

Mulheemah
Chapter #1

Prolog

“KALIAN BERDUA!!!”

Nafasku tercekat, langkahku terhenti. Begitupula dengan seorang gadis berkuncir dua disampingku, kami sama-sama menoleh dan tersenyum kecut. Aku tidak mengenalnya, ah lebih tepatnya aku belum mengenal seseorang disampingku yang kini tengah terdiam dengan posisi konyolnya – sama sepertiku. Sedikit membungkuk (hampir seperti rukuk), kedua tangan mengepal kedepan, dan kaki kanan yang melangkah lebih dulu. Persis seperti maling yang ketahuan mencuri.

“BARU HARI KEDUA SUDAH TELAT DAN BERANI SEMBUNYI-SEMBUNYI YAA!” ya, kami berdua memang kepergok telat di hari kedua OSPEK. Aku menghela nafas, andaikan saja angkot yang kutumpangi tadi tidak mogok di tengah jalan, mungkin prolognya tidak akan seperti ini.

“SEKARANG BEDIRI DI SITU SAMBIL ANGKAT SATU KAKI DAN SALING MENJEWER” sebuah tongkat mengarah ke arah jarum sebelas, ekor mataku mengikuti dan seketika aku membelalakkan pandanganku.

“what? Panas?!” bukan aku, itu umpatan gadis disebelahku.

“Namanya juga hukuman, pasti gak enak!” si kakak tingkat yang memergoki kami menimpali dengan santai. Aku sempat melihat mukanya sebentar, ‘ganteng’ kesan pertamaku ‘tapi rese’. Karena ini adalah kesalahanku, aku segera pergi dan segera melakukan hal yang diminta oleh si kakak tingkat. Gadis berkucir dua yang tadi bersamaku mengekor dibelakang, langkahnya sedikit dihentak-hentakkan.

“Woy kucir dua gak usah protes, santai aja kayak si helm itu” seloroh si kakak tingkat itu. Mendengar kalimat ‘helm’ aku sontak mendelik. Bisa-bisanya dia menyebutku helm padahal jelas-jelas yang membuat peraturan untuk membesarkan lipatan jilbab ketika OSPEK adalah panitia yang tak lain ya dia dan teman-temannya.

“Lo cantik kok meskipun dibilang helm”

“Kamu juga, meskipun ikatan rambutnya kayak antena” sapaan diawal perjumpaan yang cukup aneh, dan dilanjuti dengan menertawakan kebodohan kami masing-masing.

“Lo siapa? Gue Stella Putri panggilannya Stella” bisiknya ditengah hukuman kami.

“Aku Ummu Habibah, panggil Ummu” balasku turut berbisik, sesekali melirik ke arah lain. Takut ditegur oleh kakak tingkat yang mengawasi.

“Jurusan apa? Kalau aku Hubungan Internasional”

“Aku jurusan Ilmu Ko – eh brosku hilang” ucapku panik, dan pada saat itu pula angin berhembus, sontak aku menutupi ujung khimarku agar tidak menampakkan leherku. Tadi pagi karena terburu-buru aku sampai lupa menggunakan jarum di tengah, biasanya kugunakan untuk menutupi celah yang dapat memperlihatkan bagian leher. Mungkin bagi beberapa orang beranggapan jika berhijab sudah cukup dengan menutupi rambut saja, tapi tidak bagiku. Sebab ketika berhijab kita perlu memperhatikan hal-hal lain seperti, apakah leher kita dapat terlihat, atau mungkin sudahkah kain tersebut menutupi dada, dsb.

Stella menelisik jalanan di sekitar kami, “Perasaan tadi panas kok sekarang mendung, lo gak bawa peniti atau jarum lagi?”

Aku menggeleng, merutuki kecerobohanku. Inilah akibat dari tergesa-gesa, pantas saja dulu bunda selalu mengomel ‘jangan tergesa-gesa, nanti jadinya nyesel’ sekarang aku paham maksudnya.

“Ummu itu brosnya?” Stella menunjuk sebuah bros kupu-kupu yang tergeletak di tengah jalan, aku mengamati sejenak lantas menganggukkan kepala, “Iya itu punyaku, tapi gimana mengambilnya?” tanyaku pada Stella yang sibuk memperhatikan area sekitar kami, “sekarang aja, mumpung gak ada yang ngawasi. Si kakak yang tadi juga tiba-tiba hilang”

Aku mengangguk paham, melirik sekilas keadaan sekitar lantas buru-buru hendak mengambil. Namun, tinggal beberapa langkah lagi, sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi dan

Lihat selengkapnya