Kesal. Aku menghela nafas berat, kemudian melangkahkan kaki meninggalkan pintu kelas yang sudah tertutup rapat. Aku telat enam menit dan tidak boleh masuk kelas. Huft, peraturan dalam mata kuliah yang dibawakan Pak Ridwan benar-benar ketat. Tentu saja salah satunya adalah ketentuan tidak boleh mengikuti kelas jika sudah telat lebih dari lima menit – apapun alasannya. Dengan langkah gontai, aku menyusuri lorong demi lorong. Tujuanku sekarang hanya satu, Kantin.
Suasana kantin tidak begitu ramai, sedangkan jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Ah aku lupa, ini hari Rabu dan banyak kelas yang masuk pagi.
“Assalamualaikum bu” sapaku pada salah satu lapak langgananku, aku segera duduk di sebuah bangku yang berada di depan warung bu Lastri.
“Waalaikumsalam, lho mbak Ummu kok sudah disini?” bu Lastri bertanya heran, seolah tahu jadwal kuliahku yang hari ini masuk kelas pagi.
“Telat bu hehe” ungkapku sembari meringis, “Bubur ayam kayak biasanya ya bu, aku gak sempat sarapan” lanjutku kemudian. Bu Lastri hanya mengangguk seraya mengacungkan kedua jempolnya.
Disamping menunggu bu Lastri yang sibuk meracik pesananku, aku mengamati keadaan sekitar kantin yang tidak begitu ramai. Dulu, di sebelah barat kantin kolam ikannya masih dibangun dan sekarang kolam ikannya telah jadi dan terlihat cantik. Tatanan bangkunya juga sudah berubah, tidak seperti semester lalu. Bahkan suasana kantin semakin dipercantik dengan beragam hiasan. Aku membatin, ‘ternyata waktu cepat sekali berlalu, baru rasanya kemarin OSPEK sekarang sudah semester dua saja’
Saat sedang sibuk mengamati ruangan sekitar tanpa sengaja kedua mataku menangkap kehadiran sosok anak kecil berambut sebahu yang diam-diam menatapku. Aku sempat terkejut, “bu itu anak ibu?” tanyaku pada bu Lastri yang memberikan semangkuk bubur ayam.
“Lho mbak Ummu gak tahu?” bu Lastri justru bertanya balik, ekspresinya tak kalah heran denganku. Setahuku anaknya bu Lastri sudah besar semua, yang paling bungsu bahkan kelas 6 SD. “namanya siapa bu?” tanyaku lagi, mengabaikan bubur ayam dihadapanku.
“Namanya Elsa mbak” bu Lastri menjelaskan. Elsa, seketika aku teringat akan tokoh wanita di film Frozen. Aku kembali menatap Elsa, si gadis kecil yang memeluk boneka pikachu. Dalam hati aku sempat tertawa, ‘namanya Elsa tapi yang dipegang boneka pikachu, harusnya kan Olaf’
Elsa memiliki kulit putih, kedua pipi chubby, rambut hitam yang lebat sepanjang bahu, mata almond yang bening, hidungnya tidak terlalu mancung dan bibirnya yang tipis tidak menampilkan senyuman. ‘Ah, kenapa anak ini begitu imut?’ rasanya semua yang ada pada Elsa tampak sesuai dengan proposi wajah dan tubuh mungilnya. Bahkan hanya dengan memandanginya yang hanya diam memandangku telah mampu membuat senyumku terangkat. Rasa kesal dan laparku luap begitu saja. Aku meraih tasku dan mencari sebungkus vitamin jelly yang selalu kubawa.
“Assalamualaikum Elsa” sapaku saat menghampirinya, berjongkok untuk menyetarakan tinggiku dengannya. Gadis itu tidak menjawab apa-apa, hanya kedua matanya yang kerap kali berkedip ketika menatapku. Senyumku semakin melebar, “Kalau ada yang bilang Assalamualaikum,Elsa harus jawab-“
“Waalaikumsalam” potongnya lebih dahulu. Sontak aku membulatkan kedua mataku, tidak menyangka atas ucapannya barusan. “MasyaAllah Elsa pintar ya!” pujiku sembari mengelus surai hitamnya. “Elsa umurnya berapa?” tanyaku lagi, sekarang aku merapikan anak rambutnya yang sedikit berantakan. Menepikan ke belakang telinga.
“HA! Duapuluh tujuh tahun?!” seruku saat mendapati gadis kecil itu mengangkat kedua tangannya, mengisyaratkan umurnya lewat jari.
“Bukan duapuluh tujuh tahun mbak Ummu, tepatnya 27 bulan” Bu Lastri menimpali. Ternyata sedari tadi beliau memperhatikan kami. “Hehe aku kira duapuluh tujuh tahun bu” kekehku. Tentu saja aku tak sampai berpikir kalau maksudnya 27 bulan karena Elsa mengacungkan dua jari ditangan kanannya, dan dua jari lainnya ditangan kirinya. Walaupun sama-sama dua jari tentu kalian dapat membedakan lah maksud angka tujuh itu.
‘Pintar juga ini bocah’
“Elsa mau ini?” aku menawarkan sebungkus vitamin jelly rasa jeruk.
Elsa tampak malu-malu tetapi kemudian ia menerima bungkusan tersebut seraya mengucapkan terimakasih, yang justru terdengar ‘telimakasih’.
“Elsa mau main sama kakak gak?” tawarku lagi. Sekarang kami berdua sudah duduk dibangku yang sempat kududuki tadi. Elsa tidak langsung menjawab, ia diam sebentar sembari menatapku beberapa saat sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya, “Yes, aku punya teman baru” seruku memeluk gemas tubuh mungil Elsa. “Oh ya kenalan dulu donk, nama kakak Ummu. Panggilannya Kak Ummu”
Aku mengulurkan tangan, Elsa membalas sambil tersenyum manis. ‘Ya Allah, kuatkan hamba menghadapi malaikat lucu ini’
Selesai sarapan aku mengajak Elsa bermain di sekitar taman dekat kantin. Tentu setelah izin dengan bu Lastri. Awalnya beliau terlihat kaget dan ragu, takut Elsa merepotkan karena menurut penuturan beliau Elsa belum pernah sedekat ini dengan orang lain. Tapi aku menyakinkan dan Elsa sepertinya juga ingin bermain denganku. Sedari tadi ia tidak mau melepaskan genggamannya dan tentu saja hal ini membuatku bahagia, ‘apakah seperti ini rasanya memiliki seorang adik?’
Maklum, aku anak tunggal. Sewaktu kecil hingga remaja aku selalu menyatakan perasaan iriku terhadap teman-teman yang memiliki adik. Namun respon orangtuaku hanya tersenyum dan memintaku untuk sabar. Belakangan aku tahu, mama mengidap suatu penyakit yang tidak menghendakinya untuk hamil lagi.
Aku memandangi Elsa yang masih sibuk memberi makan ikan-ikan di kolam, tangan kanannya masih menggenggam tanganku erat. Elsa memang tidak banyak bicara, tapi tawanya lepas beberapa kali dan hal ini sempat menarik perhatian beberapa mahasiswa yang lewat. Samar-samar mereka bergumam tapi aku tak begitu dengar. Toh, kalau aku menguping jatuhnya justru ghibah juga kan.
Sudah hampir setengah jam kami disini, aku melirik jam tangan karetku. Kurang lebih 20 menit lagi aku ada kelas, “Elsa mau kakak kuncir gak rambutnya? Biar makin cantik” aku baru ingat, dalam tasku ada karet ikat rambut dan sebuah jepit lengkap dengan sisirnya. Kemarin sepulang kuliah aku sempat membeli sepaket ikat rambut dan jepit di pedagang asongan, alasannya karena lucu dan hanya ingin membeli, itu saja. Padahal jelas aku tidak mungkin memakainya. Tapi siapa sangka benda tersebut justru akan berguna hari ini.