Hi... Bye (We are Lost)

tavisha
Chapter #8

Rain

Satu-satunya orang yang berhenti di halte ini, hanya aku. Saat aku turun dari bus, hujan sudah cukup deras menghujam bumi.

 Aku bukan terpaksa memilih, justru inilah pilihanku. Aku memilih datang ke sekolah menjelang magrib, di tengah hujan yang turun sangat lebat. Dari segala pilihan yang ada di hari ini aku memilih untuk datang kesini kembali, padahal semenjak aku pulang ke rumah aku sudah memutuskan tidak kembali, tapi... entahlah, ada perasaan yang sulit di ungkapkan dengan kata-kata akan keginginan itu.. Aku ingin menghabiskan hariku di sekolah.

 Tentu saja aku benci pesta... tapi bukan karena pesta jugalah yang membuatku kembali dan perasaan yang tak bisa ku ungkapkan itu yang mengusik ketenanganku.

 Aku menaikkan tudung jaketku dan bersiap untuk berlari menuju gerbang sekolah, jarak antara halte dan gerbang tidak terlalu jauh. Jadi bisa di pastikan aku tidak akan basah kuyup sesampainya di dalam.

 Satu.. Dua... Tiga...

 Aku berlari sambil berjinjit, berusaha agar genangan hujan tidak merembes ke dalam sepatuku. Saat aku memperhatikan sepatuku di dalam genangan yang beriak, aku melihat bayangan seseorang berjalan menyusul langkahku dari belakang.

 Bayangnyan itu mendekat, perlahan dengan kemunculan kaki seseorang yang mulai menyesuaikan langkahnya denganku... tepat di sampingku. Aku berhenti sejenak memastikan... memastikan bahwa di sekitarku tiba-tiba saja hujan berhenti menghujam tubuhku.

 Aku menurunkan tudung jaketku, melihat seseorang yang berdiri di sampingku. Jarak kami sangat dekat, sedekat satu telapak tangan mungilku. Aku ingin terkejut, tapi aku terlalu dini untuk sadar bahwa anak laki-laki itu berdiri di sampingku dengan tatapan dinginnya yang sudah bisa di pastikan tatapan itu muncul bukan karena hujan. 

 "Oh.. Ada apa?" tanyaku

 Dia hanya menjawab menggunakan dagunya, memberi kode agar cepat jalan.

 "Kau tidak perlu baik begitu padaku..." kataku mencoba menolak tawarannya pergi bersama dalam satu payung.

 Dia menatapku lebih dingin dari sebelumnya, "Cepatlah, punggungku sudah basah." protesnya, kemudian membuat langkah agar aku ikut serta bersamanya. Aku menghela napas sebelum akhirnya mengikuti.

 Sebenarnya dari mana dia datang?

 Aku tidak melihat dia datang dari arah yang sama denganku. Tapi melihat dia membawa sekantung belanjaan, ku pikir dia baru saja pergi ke toko serba ada di perempatan jalan tidak jauh dari sekolah. Aku bisa melihat di balik kantung belanjaan dia baru saja membeli beberapa perlengkapan seperti, karton dan beberapa bahan lainnya yang sepertinya di tujukan untuk mendekor.

 Di dalam perjalanan, kami hanya diam. Aku beberapa kali ingin mengeluarkan suara, tapi terlalu binggung kata-kata apa yang tepat akan mengisi sepinya langkah kami menuju lobi sekolah. Keasikkan memikirkan bahan pembicaraan aku justru tidak menyadari kami sudah sampai di lobi sekolah. Dia pergi begitu saja, tanpa berpamitan atau hanya sekedar berbasa-basi. Karena seperti itulah dia, kalau dia sudah bisa berbasa-basi kurasa namanya akan berubah, bukan Aries lagi. 

 "Terima kasih..." Teriakku saat punggungnya menghilang dari belokkan koridor.

 Sekarang aku tidak punya tujuan, aku hanya memutuskan untuk pergi ke sekolah tanpa tahu akan berbuat apa setelahnya.

 Setelah melewati koridor pertama, aku berhenti sekedar memandangi ruang kosong di lapangan yang mendadak sunyi dari pikiranku, namun sebenarnya memang sunyi karena aktifitas yang sebelumnya akan berada di lapangan pindah ke dalam aula karena hujan. Aku menuju kursi kosong dan duduk di sana dalam waktu yang lama hanya untuk duduk menikmati hari sebelum benar-benar menjadi gelap.

 Ribuan, mungkin sudah ratus ribuan... aku hanya menerka. Mataku menatap ke satu titik butiran hujan yang jatuh dari atap menuju pot bunga kosong. Aku tidak tahu sudah berapa banyak tetes air yang jatuh ke dalam pot bunga itu, sesaat seorang berpakaian astronot datang dari seberang lapangan dimana aula berada. Seakan-akan pakaiannya adalah jas hujan, dia melintas saja melewati lapangan tanpa atap dengan percaya diri.

 "Oh, ternyata tembus!" katanya dengan suara terpendam dalam helmnya. "oh... ini tidak nyaman." Katanya lagi buru-buru berlari menuju arah ku duduk.

 Siapa dia? apa tidak ada arah lain selain menuju tempatku?

 Dia membuka helm astonotnya, lalu tersenyum lebar sambil mengibaskan rambutnya.

Lihat selengkapnya