Hi Cold Prince

Jalvanica
Chapter #2

Prolog

"Impian adalah titik awal dari goresan pena kehidupan yang akan Anda tulis. Impian juga bahan bakar manusia untuk tetap bisa bersemangat dalam menjalani hidup."

Aku membaca caption David temanku di story WA. Dia pasti lagi galau. Minggu kemarin kan dia sempat cidera main futsal dan nggak diizinin lagi main futsal oleh orang tuanya.

Aku terdiam, merenung. Tiba-tiba aku jadi ikut galau teringat segudang impian yang sulit aku gapai, sangat sulit. Hingga kadang merasa mustahil. Eiits aku nggak boleh pesimis gini dong. Udah nggak pintar, wajah pas-pasan, belum punya prestasi kok pesimis ... apa yang akan dibanggakan dari diriku? Setidaknya aku harus optimis dan aku bangga karena optimis menjalani hidup. Beh!

Impianku banyak.

Aku suka menyanyi, karena itu aku ingin menjadi penyanyi profesional. Tapi ... tapi ... tapi ... nggak ada yang spesial dari suaraku. Suaraku pas-pasan. Bagaimana bisa aku menjadi penyanyi profesional? Mimpi. Dasar mimpi di siang bolong!

Yang kedua. Aku ingin menjadi seorang Dokter. Sungguh ... makannya aku masuk jurusan IPA. Keren aja bisa menolong banyak orang.

Yang ketiga. Aku suka menulis karena itu aku ingin menjadi novelis. Tapi tidak sembarang novel, maksudnya aku ingin menyelipkan pesan dalam setiap tulisanku dan itu nggak gampang. Heuuh.

Yang keempat. Aku menginginkan Argam— teman seangkatanku— aku lumayan dekat dengannya. Pernah dia sekali mengantarku pulang senangnya minta ampun, tapi dia juga pernah mengantar adikku pulang, nggak jadi senang. Meskipun begitu, aku bermimpi suatu saat akan menjadi miliknya. Tapi harapanku pupus saat adikku, Eline, mengibarkan bendera peperangan kepadaku kemarin malam.

Eline itu adikku tapi beda Ibu. Dia cantik, pintar, berbakat beda banget denganku. Hiks. Dia bercahaya, sedangkan aku gelap gulita. Dia bagaikan berlian asli yang berkilauan, sedangkan aku hanya berlian imitasi.

Aku tahu dia saudariku, tapi tentu saja aku tidak berperang seperti perang Baratayudha dengannya. Alasannya tentu saja sekarang udah nggak jaman main kekerasan. Kami hanya— secara tidak langsung— berperang lewat pengakuan prestasi.

Aku dan adikku 'TARUHAN' tapi jangan salah paham dulu karena yang kalah tidak akan dirugikan. Jadi, boleh-boleh saja, bukan?

Aku mengernyitkan dahi saat adikku kemarin malam menyerahkan selembar kertas print-printnan yang isinya persyaratan taruhan. Ya elah serius banget sampe diprint segala. Ah, itu berarti Eline yang sudah pintar akan serius juga berusaha mendapatkan Argam dengan belajar mati-matian. Peluangku mendapatkan Argam memang secuil tapi hingga saat ini aku masih percaya akan keberuntungan. Hiks! Berbekal keberuntungan.

SURAT TARUHAN

Lihat selengkapnya