Aku sedang berusaha menjadi orang yang nggak mau berlarut-larut dalam kesedihan, sebab aku tidak mau membuat diriku menderita. Pagi tadi sebenarnya aku tidak mau sarapan karena menghindari bertatap muka dengan papa, tapi dipikir-pikir itu nggak benar. Jika aku tidak sarapan berarti aku sama saja membuat diriku menderita dengan kelaparan, bukan?
Untung saja aku sarapan kalau nggak pasti aku nggak bakal konsentrasi mendengarkan penjelasan guru Sejarah—
Mr. Thomas— yang kata-katanya sulit dimengerti kecuali bagi mereka yang cerdas. Tapi karena Mr. Thomas, aku bisa merasakan menjadi orang cerdas, jika aku bisa memahami penjelasannya. Itu hal yang membuat menarik dari pelajaran sejarah.
Aku dan Sila bergegas ke kantin begitu bel istirahat berbunyi. Di sana sudah ada David tengah duduk manis di ujung kantin, dia melambaikan tangan kepadaku sambil menyeringai lebar hingga membuatku muak. Muak karena lagi-lagi aku harus mentraktirnya.
David menyendok soto yang tadi aku pesan, lalu dimasukan ke mulutnya. "Gila Die, lo berani juga ya sama si Bryan."
Setelah menelan bakso, aku balas menatap David. "Bagaimana lagi Vid, orang dia dulu yang memulainya. Gue nggak bisa tinggal diem dong."
Sila memicingkan sebelah alisnya, "Lo tahu penyebab Alodie berantem sama Bryan, Vid?"
David mengangguk. "Sedikit. Kemarin itu kalian menjadi topik hangat pembicaraan loh. Hebat!" David memberikan jempol sambil tersenyum.
Sila pura-pura ikut tersenyum, "Iya Vid hebat, hebat banget!" ucapnya kemudian matanya melotot sambil memberikan serangan pamungkas dengan memukul lengan David. "Hebat apanya, yang ada malu!"
David meringis kesakitan. "Hey, nggak usah main mukul, dong, sakit tahu Sil."
Aku mendengus, sudah jelas kejadian kemarin menjadi bahan perbincangan hangat. Mungkin hampir semua penduduk SMA tahu aku berantem dengan Bryan. Buktinya tadi pagi saat aku berjalan di koridor— walau tidak ditunjukkan secara langsung, sih— beberapa anak membicarakanku. Aku bisa mendengar meski samar-samar. Arg!
Kesialan macam apa yang menimpaku akhir-akhir ini! Saat masuk kelas pagi tadi geng nenek peyot Stela menjadi diam, lalu menatapku aneh. Mungkin dia juga baru saja menggosipiku. Dia, kan, ratunya gosip.
David menyedot jus jeruk kemudian menatapku. "Emang ... bener Die, Bryan yang nyari gara-gara duluan. Tapi lo yang mulai main kekerasan?"
Aku yang tengah mengunyah bakso tersedak-sedak mendengar pertanyaan David barusan. Sila yang duduk di depanku cepat-cepat memberiku segelas air putih, aku langsung menyambar dan meneguknya.
Setelah lumayan tenang, aku mendesah sambil membatin; gila kali, ya, gosip macam apa itu? Hoaks bener-bener hoaks!
"Gosip gila kali ya." Pada akhirnya aku mengatakannya, lalu aku kembali berucap, "bukan gue dulu yang main kekerasan Vid, tapi Bryan dulu yang nampar Sil—"
Aku menghentikan ucapanku saat Sila melototiku. Aduh ini mulut asal crocos padahal aku kan sudah berjanji untuk tidak menceritakan masalah kemarin. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak mau ada yang salah paham dengan gosip itu. "Sorry Sil," ucapku.
Sila mendengus kemudian dia mengangguk memaafkanku.
"Bryan nampar lo Sil? Ya ampun parah!" ucap David.
Lagi-lagi Sila mengangguk.
"Loh, kok, bisa Sila ditampar Bryan, Die? Apa masalahnya sih."