Aku menghela napas mencoba sabar ketika kepalaku mulai berdenyut sakit akibat lembur membuat cerpen yang masih belum kelar malam tadi, sedangkan kakiku sudah tidak sanggup diajak kompromi untuk berdiri. Upacara yang seharusnya sudah berakhir malah diteruskan untuk mengumumkan hasil deretan siswa pemenang olimpiade.
Andai kata aku adalah siswa yang termasuk di dalamnya, maka aku tidak akan mengeluh berdiri di sini, mengacuhkan kepalaku yang rasanya ingin meledak, dan dengan senang hati aku akan mendengarkan hasil pengumuman. Tapi takdir selalu berkata lain! Hiks!
"Olimpiade matematika juara 3 dimenangkan oleh Alisya Merty kelas X IPA 2. Silahkan ananda Alisya harap maju ke depan."
Suara tepuk tangan dan siulan kebanggaan dari anak kelas X IPA 2 menggema kepenjuru lapangan ketika gadis dengan rambut sebahu model bop, yang kuyakini Merty berjalan menghampiri Mr. Johan, kepala sekolah.
Mr. Johan berdehem sebelum memanggil siswa selanjutnya.
"Siswa selanjutnya yang memenangkan Olimpiade Sains juara 1 dimenangkan oleh ..."
Mr. Johan sengaja menggantungkan ucapannya, bermaksud membuat acara ini menjadi semakin meriah karena kali ini yang dipanggil siswa yang mendapatkan juara satu.
"Eline Quenza kelas X IPA 1 .... Silahkan Ananda Eline untuk maju ke depan."
Aku sama sekali tidak tercengang atau bereaksi apa pun ketika mendengar Eline memenangkan olimpiade. Sudah terbiasa anak itu memenangkan olimpiade semenjak SMP. Hanya saja ... ada perasaan kesal kepada diri sendiri. Kesal kenapa aku tidak bisa seperti Eline, meski aku sudah belajar lebih daripada Eline, tapi tetap saja aku tidak bisa mengalahkan adikku yang diberi kelebihan otak cerdas oleh Tuhan.
Aku mendengus kesal membayangkan oma akan membanding-bandingkanku lagi dengan Eline saat syukuran makan malam, itu pasti. Ya, keluarga kami selalu mengadakan acara syukuran setiap salah satu dari keluarga besar kami mendapatkan suatu penghargaan.
Eline berjalan sok anggun, mungkin karena di lapangan ini ada Argam. Suara tepuk tangan dari teman kelasnya tak kalah ramai dari sebelumnya. Berdiri di samping Merty, Eline memasang wajah wibawanya mungkin secara tidak langsung memperlihatkan kepadaku, memamerkan kepintarannya yang membuatku semakin tidak percaya diri untuk memenangkan taruhan mendapatkan Argam.
Mr. Johan kembali memanggil pemenang selanjutnya.
"Wow gue kagum sama adik lo Die."
Aku menoleh ke arah Sila, lalu manggut-manggut dengan wajah datar. "Hmm."
"Tapi bukan sama sifatnya, cuma kagum sama kepintarannya Die."
Aku kembali manggut-manggut. "Hmm iya ... terserah lo Sil," jawabku malas.
"Ya elah kenapa si lo. Lo iri ya sama adik lo?" godanya.
Aduh bukannya iri, tapi merasa tertantang, hmm lupakan. Masalahnya yang membuatku malas ngomong karena kepalaku kali ini berdenyut lebih sakit daripada sebelumnya. Jika di animasi-animasi mungkin sudah ada burung yang berputar-putar di kepalaku. Hadeuuh! "Pusing gue Sil."
Sila terkekeh. "Pusing mikirin Argam, ya?"
Aduh itu orang. Apa dia tidak bisa membedakan mana yang bercanda dan nggak apa?! Beneran ini kepalaku rasanya ingin meledak, aku mendengus kesal. "Bisa jadi," jawabku asal.
Eh ... mendengar nama Argam, aku jadi teringat tadi malam setelah menggarap cerpen sebenarnya aku dan dia chatting-an lumayan lama.
"Kemarin Sil, Argam ngirim pesan. Sebenarnya pesan itu dikirim kemarin malam tapi, kan, gue baru beli paketannya tadi malam jadi baru gue balas tadi malam deh...." Aku menghela napas sebelum melanjutkan, "kami chatting-an lama Sil," lanjutku sambil memaksakan senyum saat kepalaku masih terasa berdenyut.