Hi Cold Prince

Jalvanica
Chapter #9

07. Menjalankan Misi Taruhan, Belajar!

Sudah dua kali aku menekan bel rumah Lucas, tapi tak kunjung ada tanda-tanda seseorang di dalamnya. Walaupun seperti itu, herannya mobil yang sering di bawa Lucas ke sekolah kok ada di depan garasi? Itu berarti dia memang sudah pulang. Aku menghela napas, coba kutekan sekali lagi barangkali Lucas muncul.

Hening ....

Tidak ada siapa pun yang muncul membukakan pintu.

Aku menggigit bibir bawahku, apa aku masuk aja kali ya? Tapi nanti dikira nggak sopan bagaimana? Atau dikira pencuri?

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Mana ada dianggap pencuri, konyol! Sudah jelas kan kedatanganku ke sini untuk belajar dengannya. Aku menelan ludah susah, perlahan tanganku mendorong pintu.

Ceklek.

Tidak terkunci, aku menghela napas lalu berjalan masuk.

Pandanganku mulai berkeliaran, mengamati setiap pintu ruangan. Barangkali Lucas muncul dari salah satu ruangan. Tapi nihil tidak ada yang muncul hingga kini kakiku sudah menginjak ruang tengah.

Wow lebar sekali ruangan ini. Terdapat sofa putih di ujung ruangan yang ditata membentuk simetris. Di tengahnya terdapat meja kaca yang dihiasi bunga lavender, sedangkan di depan sana tergantung televisi LID 42 Inch kurang lebihnya. Sementara di ujung kiri terdapat tangga. Banyaknya jendela kaca membuat ruangan menjadi terang.

Aku terpelonjak kaget saat wanita paruh baya yang kuyakini asisten rumah tangga di sini menepuk lenganku. "Non temennya Den Lucas?"

Aku mengangguk canggung. "I ... iya."

"Kenalin saya Bi Inah, asisten rumah tangga di sini. Maaf, ya, Non nggak tahu ada Non. Tadi belnya nggak kedengaran soalnya lagi nyuci baju di mesin cuci."

Aku mengangguk memaklumi. Terlebih ruangan ini sangat lebar, seharusnya Lucas memasang bel rumah dengan bunyi di atas 140 dB. biar telinganya sekalian jebol. UPS!

Aku mengerjap, lupa belum memperkenalkan diri. "Saya Alodie."

Bi Inah manggut-manggut. "Nggak biasanya Den Lucas ngajak temannya ke rumah kecuali Den David sama Den Alvin."

"David?" cicitku. Oh jadi Lucas temannya David.

Bi Inah mengangguk. Seperti tahu apa yang kupikirkan, Bi Inah menjelaskan. "Iya. Kalau Den David itu sepupunya Den Lucas. Kalau Den Alvin teman sekelasnya."

Heh? David sama Lucas sepupuan? Baru tahu, sungguh. Ya, jelas orang aku belum mengenal Lucas kecuali tidak bisa mengelak bahwa aku mengenal kesombongannya, salah siapa nggak pernah senyum.

"Naik tangga aja non Alidi—"

"Alodie Bi." Aku mengoreksi.

Bi Inah menyengir, menampakan giginya yang masih lengkap. Wow. Biasanya kalau umur 50 tahun ke atas kan sudah ompong tapi Bi Inah tidak. "Naik tangga aja Non Alodie .... biasanyaa Den David sama Den Alvin juga langsung ke lantai atas."

Aku mengangguk. Setelah Bi Inah kembali ke dapur, aku mulai melangkah naik ke lantai atas. Kini kakiku sudah menginjak lantai ubin cokelat bermotif. Pandanganku langsung disambut rak-rak buku yang terisi penuh dari atas hingga bawah. Di samping kirinya terdapat lemari kaca berisi beberapa koleksi piala, sementara di sebelah kanannya terdapat meja belajar dengan dua kursi yang dipenuhi beberapa barang elektronik dan CD yang kebanyakan koleksi milik Ludwig van Beethoven dan Joseph Haydn.

Tapi yang sedari tadi mencuri perhatianku adalah ... di tengah ruangan yang luas terdapat piano klasik.

Lihat selengkapnya