Kemarin setelah belajar bersama Lucas seharusnya aku mengucapkan terima kasih kepadanya karena sudah menolongku dari pingsan setelah upacara kemarin pagi. Biar kuucapkan nanti saja, lagi pula nanti juga bakal ketemu.
"Kemarin gimana, Die, belajar sama Kak Lucasnya?" taya Sila saat kami baru saja keluar dari kantin, berjalan menuju perpustakaan yang terletak di lantai atas.
Aku mengernyitkan dahi. "Gimana apanya Sil? Ya biasa belajar, emang apa lagi?"
Dia mendengus. "Maksud gue, dia irit ngomong nggak, Die? Kalau irit ngomong emang lo paham sama penjelasannya."
"Dari pengamatan setelah gue belajar sama Kak Lucas, nih, Sil sebenarnya dia itu nggak irit ngomong, kok, cuma dia ngomong seperlunya aja. Dan gue suka cara dia memilih kata, mudeng aja gitu sama kata-katanya. Simple tapi jelas. Nggak bertele-tele."
Dahi Sila mengernyit. "Jadi Kak Lucas itu tipe yang to the poin dong Die?"
"Mungkin. Tapi jujur aja sih Sil orang yang seperti itu kadang ngeselin. Kalau lagi ngritik pasti nggak disaring dulu," jawabku.
"Ya itu namanya dia jujur, Die."
"Tapi kan—" Aku menghentikan ucapanku saat suara ricuh terdengar dari lantai bawah, membuat pandangan kami langsung tertuju pada segerombolan tim cheerleader yang baru saja latihan, digegerkan karena salah satu anggotanya, Verlia— itu lho selingkuhannya Bryan— pingsan.
Aku mengernyitkan dahi, nggak biasanya tim cheerleader latihan di lapangan, biasanya kan di Aula. Oh, iya, tadi aku nggak sengaja lihat tukang-tukang berkeliaran di Aula. Mungkin lagi direnovasi, makannya lapangan yang biasanya langsung terisi anak futsal setelah bel istirahat berbunyi jadi sepi, ternyata mau buat latihan tim cheerleader. Alhasil tadi aku tidak bisa ngemil sambil melihat Argam main futsal. Hiks!
Sila memutar bola matanya malas. "Nggak pernah panas-panasan, sih, sekali panasan langsung pingsan. Makannyaa!" ucapnya terdengar jengkel.
Aku tahu perkataan Sila itu pelampiasan kekesalannya karena kejadian saat itu, tepatnya saat Sila memergoki Bryan ciuman dengan Verlia di belakang kamar mandi.
Karena selama aku mengenal Sila, dia tidak pernah mengritik seseorang tanpa tahu kebenarannya terlebih dahulu. Emang Sila tahu kalau Verlia jarang panas-panasan? barangkali Verlia semaput karena tidak sarapan atau mungkin tubuhnya lagi nggak baik, kan? Sudah pasti perkataan Sila tadi cuma bentuk pelampiasan kekesalannya.
Aku terkekeh, lucu aja gitu sama pelampiasan kemarahan Sila, kesannya sok tahu. "Lagi marah ya mbak?" sindirku.
"Masih kesel aja gue sama dia, Die," jawabnya.
"Sekalipun dia pingsan seperti itu?" tanyaku sambil kembali memandang Verlia yang tengah digotong petugas UKS.
"Mau dia semaput atau pergi ke planet mars, pokoknya gue tetep kesel sama dia dan Siluman Bryan, Die!"
Akhir-akhir ini aku juga sering melihat perdebatan antara Sila dan Verlia di kelas karena hal kecil. Pada akhirnya aku juga ikut-ikutan karena membela Sila, dan entah kenapa Stela juga ikut-ikutan. Sudah pasti. Verlia, kan, satu geng dengan Stela. Karena itu kami malah sering musuhan dengan geng nenek peyot Stela.
Aku menghela napas lalu menepuk pundak Sila." Sabar Sil," jawabku, Sila mengangguk kemudian kami kembali berjalan menuju perpustakaan.
Ruang perpustakaan kali ini sedang sepi. Hanya ada beberapa anak yang sedang memilih-milih buku, beberapa yang lainnya tengah duduk santai sambil membaca buku dengan sangat nyaman. Terlebih fentilasi udaranya cukup, membiarkan angin sepoi-sepoi dari taman belakang yang dipenuhi pepohonan masuk, sehingga tanpa AC sekalipun ruangan tetap sejuk.
Disaat Sila sibuk membaca majalah kecantikan aku lebih suka membaca koran, jangan salah paham dulu ini koran terbaru. Jadi, peristiwa yang dikabarkan masih up to date, sebab petugas Perpustakaan selalu melakukan pembaharuan pada majalah maupun koran setiap hari Kamis.
Paling sebal kalau lagi baca koran, Sila tanya-tanya mengenai fashion. "Die, bagus yang mana menurut lo. Switer warna biru apa pink?"
Tanpa menoleh aku menjawab, "Biru."
"Apaan sih, Die, orang lo belum liat, kok. Liat dulu, dong," kesal Sila, terpaksa aku mengehentikan aktivitasku.
Dengan terpaksa aku mengikuti perintah Sila. "Tetap yang biru."
"Ah, bagusan yang pink."
Sudah kuduga Sila bakal memilih warna pink. Warna pink adalah favoritnya. Lagian kenapa sih pake tanya segala, jika nggak benar-benar mau beli. Ok! kali ini aku salah. Aku tahu Sila hanya ingin mengetahui pilihanku, tapi tetap saja bikin orang kesal. Lagian bukan hanya sekali dia tanya, tapi setiap kali dia membuka lembaran baru pasti bakal tanya kan kesel. Untung sayang.
Aku mendengus. "Terserah lo aja, deh, Sil."
"Yey kayak gitu ngambek."
Aku hanya mengangguk-anggukan kepala saja daripada nanti berdebat.
Aku kembali membaca koran. Hingga bola mataku menemukan berita membanggakan mengenai SMA-ku.
21/3/2019
"Cheerleader SMA 2 Jakarta berlaga di Singapura."