Hi Cold Prince

Jalvanica
Chapter #11

09. Kasus Verlia

Rasanya melelahkan setelah belajar bersama Lucas, berkutat dengan berbagai macam rumus dan bukannya pulang, aku harus mampir membeli kamus Bahasa Inggris terlebih dahulu. Karena jika tidak membeli sekarang, maka siap-siap saja besok Miss Wenda memarahiku. Tentu saja aku tidak mau itu terjadi. Alhasil awan mulai menggelap dan beberapa lampu sudah menyala menerangi kota, aku masih di depan ruko-ruko yang sudah tutup. Berjalan menuju halte untuk menunggu taxi.

Saat di pertigaan depan toko yang sudah tutup, aku tertegun melihat di depan sana kira-kira jaraknya lima meter ... Verlia dan Bryan bertengkar? Aku menyipitkan mata, memastikan bahwa penglihatanku tidak salah.

Lebih mengejutkan lagi, apa barusan aku tidak salah dengar? Tadi Verlia bilang 'Lo tahu kenapa tadi siang gue pingsan? Itu karena gue sedang hamil. Gue hamil anak elo Bryan? Lo harus tanggung jawab!' Apa kupingku bermasalah kali ya. Tapi ... tapi ... tapi jika aku nggak salah denger berarti ....

Astaga!

Aku kembali membelalakkan mata saat di depan sana Verlia mulai menangis sambil mencegah Bryan masuk mobil. Untung di daerah sini sepi terlebih sudah sangat sore. Jadi, kuyakini tidak ada orang yang lewat kecuali mereka yang ada kepentingan mendadak sepertiku. Sekalipun ada, mereka yang pejalan kaki tidak akan peduli, mereka terlalu sibuk untuk ukuran orang perkotaan.

Tapi ada kemungkinan seseorang melihatnya dan peduli, kan, langsung berabe, apa lagi masalahnya sensitif.

"Yan, lo mau tanggung jawab 'kan?" Verlia mulai menyeka air matanya.

Tangan Bryan kali ini meremas kepalanya, frustasi. "Kita masih dibawah umur, Ver. Gue nggak bisa menikah muda! Gue punya impian dan lo juga sama, 'kan?"

Verlia tersenyum kecut. "Impian apa yang lo omongin? Setelah lo ngelakuin ini semua. Semua salah lo, Yan."

Bryan berdecak frustasi. "Itu kecelakaan Ver."

Verlia kembali menyeka air matanya. "Kecelakaan lo bilang? Impian gue hancur karena lo. Bagaimanapun ini anak lo Bryan. Lo yang memulainya lo harus tanggung jawab."

Telingaku memang masih normal. Aku langsung menutup mulutku dengan kedua tanganku. "Astaga Ver," cicitku tak percaya.

Aku kembali memandang mereka dengan was-was, Bryan tidak boleh tahu keberadaanku. Di depan sana kali ini Verlia menangis sesegukan sambil menarik lengan Bryan, tidak membiyarkan Bryan melangkah masuk ke dalam mobil dan meninggalkannya. "Bryan lo harus tanggung jawab. Lo sayang 'kan, lo cinta 'kan sama gue?"

Bryan yang hendak melangkah ke mobil, dia urungkan lalu kembali menoleh ke arah Verlia. "Awas kalau lo bilang-bilang ke anak kelas! Karena bukan gue aja yang hancur tapi lo juga sama! Jadi, jangan membuat masalah semakin kacau. Lebih baik diam bersikap sewajarnya seperti biasa. Gue bakal tanggung jawab, tapi nggak sekarang, Ver. Setelah gue lulus kuliah. Tunggu gue. Gue bakalan dat—"

Bryan langsung memegangi pipinya yang nyeri begitu Verlia menamparnya. Sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Verlia, Bryan mengucapkan dua kalimat yang membuat tangis Verlia semakin pecah. "Salah satu dari kita harus berkorban Ver. Percayalah sama gue, setelah lulus kuliah gue bakal tanggung jawab."

Setelah Bryan benar-benar pergi, tubuh Verlia langsung terperosok duduk di jalanan. Menangis memecah kesunyian malam di bawah langit bertabur bintang.

Apa terdapat bintang? tanpa kusadari langit sudah menggelap. Sungguh, aku tidak percaya kejadian yang baru saja aku saksikan nyata. Sepertinya aku mimpi deh. Aku mencubit sendiri tanganku, terasa sakit. Ya ampun ini nyata! Dan aku juga bisa mendengar tangisan Verlia.

Aku tahu selama ini kami musuhan, tapi tak sampai hati aku membiarkan dia seorang diri menangis di jalanan. Aku mulai melangkah mendekatinya.

"Ver."

Verlia menghapus air matanya. Perlahan dia menoleh ke arahku. "Alodie?" cicitnya sambil membelalakkan mata. Dia menelan ludah sebelum melanjutkan ucapannya, "lo tahu semuanya?"

Kali ini nada suara Verlia terdengar normal.

Aku mengangguk.

Dia berdiri lalu berjalan cepat ke arahku dengan rambut agak berantakan, sedangkan pipinya masih basah. Dia menggoyangkan lenganku. "Die gue mohon ke lo, jangan bilang siapa-siapa," Dia menghela napas sebelum melanjutkan, "gue mohon, Die."

Aku masih terdiam, dia kembali meneteskan air matanya.

Lihat selengkapnya