Aku benar-benar tidak bisa konsentrasi saat jam pelajaran terakhir. Banyak sekali hal yang aku pikirkan. Dari yang meratapi nasib ketika jam pelajaran keempat kosong, hingga Stela kembali beraksi menentukan pemeran Putri tidur, dan lagi-lagi aku ditunjuk menjadi figuran. Hmm sudahlah tak apa-apa, setidaknya aku tidak perlu ikut latihan setiap hari. Jadi, aku punya waktu untuk belajar dan mengawasi Verlia.
Verlia? Dia tidak ikut pentas karena dia harus latihan cheerleader. Ya, seharusnya seperti itu sebelum Verlia hamil. Tapi sekarang dia tengah hamil, jadi seharusnya dia mengundurkan diri dari tim cheerleader.
Membicarakan Verlia entah kenapa pikiran negatif mulai berkelebat. Terlebih hari ini Verlia alpa tidak berangkat sekolah. Apa dia baik-baik saja? Dia tidak akan melakukan hal bodoh, kan? seperti melakukan percobaan menggugurkan kandungan atau mengakhiri hidupnya, mungkin?
Aku bergidik ngeri. Verlia tidak akan melakukan hal bodoh itu. Tapi kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi. Aku benar-benar harus mengawasinya, biar nanti aku pergi ke apartemennya setelah belajar bersama Lucas.
Aku mendengus mengingat hari ini akan diadakan makan malam syukuran adikku yang mendapatkan juara olimpiade. Seharusnya syukuran itu dilaksanakan malam tepat pengumuman kemenangan, tapi katanya oma ada kepentingan sehingga diundur. Tidak masalah kata mama, tapi masalah bagiku. Aku tidak terlalu menyukai makan malam yang selalu membuatku naik darah. Ah, sudahlah yang terpenting nanti aku harus pulang tepat waktu sebelum pukul 18:00.
Itu berarti ada sedikit waktu untuk mengunjungi Verlia, terlebih jarak apartemen Verlia lumayan jauh dari rumah Lucas. Tak masalah, daripada hal tidak terduga terjadi pada Verlia.
Bel pulang berbunyi, aku menghela napas lega. Cepat-cepat aku memasukan buku paket dan alat tulis ke dalam tas. Setelah Miss Anggie keluar, anak-anak termasuk aku berhamburan keluar. Aku berjalan keluar gerbang bersama Sila, memang siapa lagi jika bukan bersama Sila.
"Mau langsung ke rumah Kak Lucas, Die atau pulang dulu?" tanyanya saat kami sudah berada di depan parkiran.
Aku menoleh balas menatapnya. "Pulang dulu, Sil. Ganti baju terus makan dulu."
Sila manggut-manggut. "Oh gitu, ya udah sukses belajarnya biar menang taruhannya. Kalau menang gue traktir, ya."
Traktir? Apa kabar David hari ini? Biasanya anak itu nongol di kantin menagih traktirannya, tapi kali ini nggak. Syukurlah uangku jadi tersisa. Itu berarti masih tersisa dua hari lagi mentraktir David. Yeaah, aku akan kembali merdeka, lalu aku bisa kembali menyisihkan uangku untuk membeli novel! Lama tidak membeli novel.
Aku mendengus. "Ok, lah, gue traktir kalau gue menang Sil."
Sila tersenyum singkat. "Tapi terserah gue traktirannya, ya, hehehe."
"Loh kok gitu?"
"Ya elah Die. Kan, itung-itung ngerayain kemenangan loh. Itu pun kalau lo menang."
Aku mendengus. "Ya sudahlah." Lagian belum tentu aku yang menang. Meski begitu aku nggak boleh pesimis, yang penting sekarang berusaha, belajar yang giat!
Sila kembali tersenyum. "Nah gitu dong Die. Gue duluan, ya. Daah." Sila melambaikan tangan, berjalan meninggalkanku menuju parkiran. Dari dulu kelas X hingga sekarang, Sila memang selalu membawa motor ke SMA.
Aku berjalan keluar gerbang, biasanya aku akan berdiri di depan gerbang bersama Eline menunggu jemputan Pak Beni, supir di rumah kami. Tapi tidak hari ini, karena Pak Beni tadi pagi minta cuti sebab anaknya sedang melahirkan.
Alhasil aku harus berjalan menuju halte ditemani terik matahari yang menyengat kulitku.
Halte cukup ramai dipadati siswa-siswi, tapi aku tidak melihat Eline, mungkin Eline meminta Camelia untuk mengantarnya. Aku mendengus, sudah tiga kali taxi datang tapi aku kalah cepat dengan penumpang lainnya. Akhirnya aku masih duduk di sini dengan beberapa siswa lainnya. Karena bosan, aku mengayun-ayunkan kakiku bermain-main, sementara bola mataku tidak berpaling memandang langit yang begitu cerah.
Aku kembali mendengus, lama sekali taksi datang kalau kayak gini bisa-bisa setelah belajar bersama Lucas, aku tidak bisa menjenguk Verlia.
Motor matic berhenti tepat di depanku. Aku mendongak, menampakan seorang pria jangkung yang sangat aku kenali, siapa lagi jika bukan Argam. Dia melepas helmet lalu menoleh ke arahku.
Argam menautkan kedua alisnya. "Lo nggak dijemput, Die?"